jam

Kamis, 30 April 2009

Pendidikan Anak-anak Pengungsi, Semangat Mencetak Generasi Baru

"SAYA ingin tetap sekolah, walau sekolah saya ambruk," ucap Syaiful Bahri (7). Duduk bersila di teras sebuah masjid di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, bocah laki-laki itu tidak henti-hentinya menggores-goreskan pensil pada buku gambar di depannya.

HASIL corat-coret di salah satu halaman membentuk sketsa bangunan sekolah dasar (SD) lengkap dengan taman dan tiang bendera. Rupanya, bocah yatim piatu itu coba mengingat-ingat di mana ia melewati hari-hari bermain, bercengkerama, dan belajar bersama teman. "Beginilah sekolah saya sebelum air laut mengamuk," ujar Syaiful.

Bangunan sekolah Syaiful terletak di Kawasan Meuraksa, Banda Aceh. Di daerah yang tak jauh dari Lapangan Blang Padang-tempat monumen pesawat Seulawah berdiri-ada tujuh bangunan SD, dan lima bangunan SMP dan SMA yang kini rata dengan tanah.

Itu adalah bagian dari sekitar 400 sekolah yang rusak akibat gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004. Syaiful adalah satu dari 250.000-300.000 anak yang mengungsi, kehilangan orangtua atau kehilangan rumah.

Menyimak ucapan dan gerak- geriknya yang energik ketika mengikuti konseling trauma di tenda pengungsian, tergambar betapa Syaiful dan anak-anak lain masih punya semangat hidup. Mereka mulai riang, apalagi setelah diajak bercanda oleh relawan yang menerapkan layanan pendidikan anak usia dini.

ACEH memang belum habis! Konflik sosial-politik dan gelombang tsunami memang memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan di NAD dan Sumut. Namun, di antara korban yang selamat, masih ada anak-anak yang menjadi tumpuan harapan sebagai penerus generasi di Tanah Rencong ini.

Kepedulian spontan para relawan organisasi nonpemerintah, badan-badan dunia, dari unsur pemerintah sendiri untuk menangani nasib anak-anak yang kini ikut mengungsi patut dihargai. Tak kurang dari 200 lembaga swadaya masyarakat dari dalam dan luar negeri serta badan-badan dunia membantu penanganan anak-anak pengungsi di NAD dan Sumut.

Langkah-langkah penanganan mereka tentulah harus terkoordinasi agar tidak sporadis dan tumpang tindih. Sungguh disayangkan jika sampai ada kamp pengungsian yang terjamah secara intens karena kemudahan akses, sementara kamp lain tidak tersentuh lantaran sulit dijangkau.

Tidak kalah pentingnya lagi adalah penanganan anak-anak pengungsi di NAD dan sekitarnya, hendaknya mengemban misi luhur untuk mewujudkan mentalitas Indonesia Baru.

"Secara sosio-kultural, anak-anak Aceh harus tetap memegang agama dan adat istiadat, tetapi mereka harus sadar mereka adalah bagian dari bingkai sosial budaya Indonesia," ujar Guru Besar Universitas Indonesia Lily I Rilantono.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi mengatakan, uluran tangan berbagai kalangan hendaknya menghibur dan membuka mata orang Aceh bahwa mereka tidaklah sendiri.

Konseling trauma berupa permainan berkelompok, misalnya, bertujuan membangkitkan semangat hidup anak-anak. "Mereka mungkin kehilangan ayah dan ibunya atau adik kakaknya, tetapi jiwanya harus diyakinkan bahwa hidup ini tidak dijalaninya sendirian. Banyak orang senasib dan begitu banyak orang dari berbagai latar sosial-budaya ikut memahami perasaannya," ujar Seto.

Penanganan anak-anak pengungsi hendaknya dirangkai dalam satu strategi yang terpadu. Sejumlah contoh kasus telah membuktikan bahwa banyak konsep yang lahir dan terpikirkan di luar Aceh tidak berjalan dengan baik di lokasi pengungsian. Bukan pemandangan aneh, berkarung-karung sumbangan pakaian dibagikan di kamp pengungsi, berkarung- karung pula pakaian itu dibiarkan berserakan.

Apakah mereka menolak sumbangan? Tidak! Ternyata, sumbangan pakaian itu sebagian tidak cocok dengan kondisi dan cara berpakaian masyarakat Aceh, yaitu menutup aurat.

Contoh kasus lain, berkait dengan pola hidup sehari-hari. Rencana mendirikan sekolah darurat berupa tenda di lokasi pengungsian selama ini kerap kali kandas di tengah jalan lantaran buruknya kesadaran sanitasi di tempat pengungsian.

Depdiknas, Unicef, dan lembaga-lembaga lain sudah merumuskan konsep bahwa sekolah darurat harus berdiri di lokasi kamp pengungsian, agar orangtua yang masih traumatik bisa memberi kesempatan kepada putra-putrinya mengikuti kegiatan belajar. Sayangnya, kebersihan kurang mendapat perhatian di lokasi pengungsian sehingga tidak sehat untuk menggelar sekolah darurat.

Intinya, koordinasi dan konsep tidak hanya cukup digulirkan dalam rapat di pendopo gubernuran di Banda Aceh. Lebih dari itu, harus disinkronkan dengan situasi lapangan.

SECARA umum, Lily I Rilantono coba merumuskan langkah-langkah sistematis penanganan anak-anak pengungsi daerah bencana.

Langkah pertama adalah penanganan jangka pendek untuk situasi darurat, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok makanan, pakaian, dan tempat bernaung.

Langkah kedua, tahap rehabilitasi. Langkah ini diisi dengan penegakan hak-hak sipil. Caranya, diawali registrasi keluarga. Setiap anak harus teridentifikasi dengan jelas. Setiap anak tidak boleh terpisah dari keluarganya jika memang masih ada. Sebab, anak punya hak untuk diasuh orangtua atau keluarganya. Lagi pula, anak tak beridentitas jelas sangat rentan diperjualbelikan sebagai komoditas. Selanjutnya, mereka diberi layanan konseling trauma.

Hak-hak dasar lainnya sebagai warga negara pelan-pelan diberikan secara bertahap maupun simultan. Misalnya, hak mendapat layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan hak layanan informasi.

Lily yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia menggariskan, pemenuhan hak-hak sipil bisa dilakukan tanpa harus melakukan adopsi (mengangkat anak). Adopsi butuh prosedur panjang karena konsekuensinya melebar ke berbagai hal, termasuk aspek akar budaya dan aspek hukum.

Lily cenderung setuju menggalakkan gerakan orangtua asuh. Cara itu hanya membutuhkan komitmen mereka yang secara finansial mampu menanggung biaya pendidikan dan biaya hidup anak-anak pengungsi. Gerakan itu dimungkinkan berjalan tanpa memisahkan anak-anak Aceh dari komunitasnya.

Pemenuhan hak pendidikan merupakan jalur strategis untuk memuliakan manusia, termasuk anak-anak. Hanya saja, model pendidikan yang dikembangkan perlu dikemas khusus. Sesuai kultur masyarakat Aceh, pendidikan khusus itu bisa dikemas dalam bentuk sekolah berasrama atau pesantren.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodasi model pendidikan yang bernama pendidikan layanan khusus. Pasal 32 Ayat (2) menyatakan pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil, daerah bencana alam, dan daerah yang kesulitan ekonomi.

Model layanan khusus bisa pula diberikan dengan muatan kurikulum spesifik. Muatan kurikulum mengikuti situasi dan lingkungan hidup sang anak. Jangan justru sebaliknya, anak dipaksa mengikuti kurikulum.

Dalam situasi darurat, tunda dulu bicara soal mutu. Tahapan evaluasi dan pengujian, standar kompetensi di daerah lain jangan dipaksakan berlaku sama di daerah bencana. Sebab, kegiatan belajar senormal apa pun tidak serta merta mendongkrak daya serap anak-anak pengungsi yang malang itu. Kehilangan ayah, ibu, adik/kakak tidak dengan mudah terhapus dari ingatan. Mau melanjutkan sekolah saja sudah patut diacungi jempol.(NASRULLAH NARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar