jam

Kamis, 30 April 2009

Revitalisasi Pendidikan Pesantren

Jum`at, 24 April 2009 19:24:27 - oleh : admin

Dr Irwan Prayitno
Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.
Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.
Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.
Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama, masyarakat, dan negara.


Kebijakan diknas
Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun, ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal berikut.
Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung tinggi moralitas.
Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang. Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun terabaikan.


Revitalisasi pesantren
Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan. Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.
Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan merasakan hidup yang sejahtera.
Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Sumber: Republika Online

Tantangan Depag Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama dan Keagamaan

Senin, 05 Januari 2009

Swara SA-IJAAN® Sambutan Menteri Agama RI Muhammad M. Basyuni yang dibacakan oleh Wabup Kotabaru Fatizanolo S pada Upacara Peringatan Hari Amal Bhakti (HAB) Departemen Agama ke-63 di halaman MAN Kotabaru, Sabtu (3/01) mengatakan, salah satu tantangan dan tuntutan terbesar Departemen Agama saat ini dan menjadi salah satu program utama adalah peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan.

Meskipun pemerintah telah menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai payung yuridis sudah cukup memadai, namun usaha-usaha peningkatan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan masih belum optimal.



“Permasalahan pokok dari lembaga pendidikan agama dan keagamaan adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya managemen serta keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan,” jelas Menteri Agama.



Pemerintah dalam hal ini telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Departemen Agama dari tahun ke tahun. Namun demikian, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.



Dengan anggaran yang terbatas tersebut, kata Basyuni, justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran.



“Kita harus melakukan upaya secara bersamaan antara perluasan penyediaan layanan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Mengingat lembaga pendidikan agama dan keagamaan sebagian besar dibangun dan dikelola oleh masyarakat, maka kerjasama yang sinergis antara Departemen Agama dengan masyarakat mutlak diperlukan untuk mewujudkan pendidikan agama dan keagamaan yang terjangkau dan bermutu,” jelasnya.



Untuk mendukung hal tersebut, Depag telah mencanangkan tiga pilar kebijakan yaitu, mengejar ketertinggalan mutu pendidikan, meningkatkan perhatian dan keberpihakan terhadap pelayanan pendidikan bagi komunitas yang kurang mampu serta perlakuan yang sama terhadap lembaga pendidikan negeri dan swasta.



Sejalan dengan tiga pilar kebijakan itu, Departemen Agama telah melakukan berbagai program kegiatan yang terkait diantaranya peningkatan profesionalitas guru, dosen dan tenaga kependidikan lainnya, rehabilitasi sarana dan prasarana lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah, perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas sarana pembelajaran, pengembangan madrasah bertaraf internasional, pengembangan mutu perguruan tinggi agama dan penyediaan beasiswa bagi siswa, mahasiswa, guru dan dosen.(hurriah)

Pendidikan Anak-anak Pengungsi, Semangat Mencetak Generasi Baru

"SAYA ingin tetap sekolah, walau sekolah saya ambruk," ucap Syaiful Bahri (7). Duduk bersila di teras sebuah masjid di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, bocah laki-laki itu tidak henti-hentinya menggores-goreskan pensil pada buku gambar di depannya.

HASIL corat-coret di salah satu halaman membentuk sketsa bangunan sekolah dasar (SD) lengkap dengan taman dan tiang bendera. Rupanya, bocah yatim piatu itu coba mengingat-ingat di mana ia melewati hari-hari bermain, bercengkerama, dan belajar bersama teman. "Beginilah sekolah saya sebelum air laut mengamuk," ujar Syaiful.

Bangunan sekolah Syaiful terletak di Kawasan Meuraksa, Banda Aceh. Di daerah yang tak jauh dari Lapangan Blang Padang-tempat monumen pesawat Seulawah berdiri-ada tujuh bangunan SD, dan lima bangunan SMP dan SMA yang kini rata dengan tanah.

Itu adalah bagian dari sekitar 400 sekolah yang rusak akibat gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004. Syaiful adalah satu dari 250.000-300.000 anak yang mengungsi, kehilangan orangtua atau kehilangan rumah.

Menyimak ucapan dan gerak- geriknya yang energik ketika mengikuti konseling trauma di tenda pengungsian, tergambar betapa Syaiful dan anak-anak lain masih punya semangat hidup. Mereka mulai riang, apalagi setelah diajak bercanda oleh relawan yang menerapkan layanan pendidikan anak usia dini.

ACEH memang belum habis! Konflik sosial-politik dan gelombang tsunami memang memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan di NAD dan Sumut. Namun, di antara korban yang selamat, masih ada anak-anak yang menjadi tumpuan harapan sebagai penerus generasi di Tanah Rencong ini.

Kepedulian spontan para relawan organisasi nonpemerintah, badan-badan dunia, dari unsur pemerintah sendiri untuk menangani nasib anak-anak yang kini ikut mengungsi patut dihargai. Tak kurang dari 200 lembaga swadaya masyarakat dari dalam dan luar negeri serta badan-badan dunia membantu penanganan anak-anak pengungsi di NAD dan Sumut.

Langkah-langkah penanganan mereka tentulah harus terkoordinasi agar tidak sporadis dan tumpang tindih. Sungguh disayangkan jika sampai ada kamp pengungsian yang terjamah secara intens karena kemudahan akses, sementara kamp lain tidak tersentuh lantaran sulit dijangkau.

Tidak kalah pentingnya lagi adalah penanganan anak-anak pengungsi di NAD dan sekitarnya, hendaknya mengemban misi luhur untuk mewujudkan mentalitas Indonesia Baru.

"Secara sosio-kultural, anak-anak Aceh harus tetap memegang agama dan adat istiadat, tetapi mereka harus sadar mereka adalah bagian dari bingkai sosial budaya Indonesia," ujar Guru Besar Universitas Indonesia Lily I Rilantono.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi mengatakan, uluran tangan berbagai kalangan hendaknya menghibur dan membuka mata orang Aceh bahwa mereka tidaklah sendiri.

Konseling trauma berupa permainan berkelompok, misalnya, bertujuan membangkitkan semangat hidup anak-anak. "Mereka mungkin kehilangan ayah dan ibunya atau adik kakaknya, tetapi jiwanya harus diyakinkan bahwa hidup ini tidak dijalaninya sendirian. Banyak orang senasib dan begitu banyak orang dari berbagai latar sosial-budaya ikut memahami perasaannya," ujar Seto.

Penanganan anak-anak pengungsi hendaknya dirangkai dalam satu strategi yang terpadu. Sejumlah contoh kasus telah membuktikan bahwa banyak konsep yang lahir dan terpikirkan di luar Aceh tidak berjalan dengan baik di lokasi pengungsian. Bukan pemandangan aneh, berkarung-karung sumbangan pakaian dibagikan di kamp pengungsi, berkarung- karung pula pakaian itu dibiarkan berserakan.

Apakah mereka menolak sumbangan? Tidak! Ternyata, sumbangan pakaian itu sebagian tidak cocok dengan kondisi dan cara berpakaian masyarakat Aceh, yaitu menutup aurat.

Contoh kasus lain, berkait dengan pola hidup sehari-hari. Rencana mendirikan sekolah darurat berupa tenda di lokasi pengungsian selama ini kerap kali kandas di tengah jalan lantaran buruknya kesadaran sanitasi di tempat pengungsian.

Depdiknas, Unicef, dan lembaga-lembaga lain sudah merumuskan konsep bahwa sekolah darurat harus berdiri di lokasi kamp pengungsian, agar orangtua yang masih traumatik bisa memberi kesempatan kepada putra-putrinya mengikuti kegiatan belajar. Sayangnya, kebersihan kurang mendapat perhatian di lokasi pengungsian sehingga tidak sehat untuk menggelar sekolah darurat.

Intinya, koordinasi dan konsep tidak hanya cukup digulirkan dalam rapat di pendopo gubernuran di Banda Aceh. Lebih dari itu, harus disinkronkan dengan situasi lapangan.

SECARA umum, Lily I Rilantono coba merumuskan langkah-langkah sistematis penanganan anak-anak pengungsi daerah bencana.

Langkah pertama adalah penanganan jangka pendek untuk situasi darurat, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok makanan, pakaian, dan tempat bernaung.

Langkah kedua, tahap rehabilitasi. Langkah ini diisi dengan penegakan hak-hak sipil. Caranya, diawali registrasi keluarga. Setiap anak harus teridentifikasi dengan jelas. Setiap anak tidak boleh terpisah dari keluarganya jika memang masih ada. Sebab, anak punya hak untuk diasuh orangtua atau keluarganya. Lagi pula, anak tak beridentitas jelas sangat rentan diperjualbelikan sebagai komoditas. Selanjutnya, mereka diberi layanan konseling trauma.

Hak-hak dasar lainnya sebagai warga negara pelan-pelan diberikan secara bertahap maupun simultan. Misalnya, hak mendapat layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan hak layanan informasi.

Lily yang juga Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia menggariskan, pemenuhan hak-hak sipil bisa dilakukan tanpa harus melakukan adopsi (mengangkat anak). Adopsi butuh prosedur panjang karena konsekuensinya melebar ke berbagai hal, termasuk aspek akar budaya dan aspek hukum.

Lily cenderung setuju menggalakkan gerakan orangtua asuh. Cara itu hanya membutuhkan komitmen mereka yang secara finansial mampu menanggung biaya pendidikan dan biaya hidup anak-anak pengungsi. Gerakan itu dimungkinkan berjalan tanpa memisahkan anak-anak Aceh dari komunitasnya.

Pemenuhan hak pendidikan merupakan jalur strategis untuk memuliakan manusia, termasuk anak-anak. Hanya saja, model pendidikan yang dikembangkan perlu dikemas khusus. Sesuai kultur masyarakat Aceh, pendidikan khusus itu bisa dikemas dalam bentuk sekolah berasrama atau pesantren.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodasi model pendidikan yang bernama pendidikan layanan khusus. Pasal 32 Ayat (2) menyatakan pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil, daerah bencana alam, dan daerah yang kesulitan ekonomi.

Model layanan khusus bisa pula diberikan dengan muatan kurikulum spesifik. Muatan kurikulum mengikuti situasi dan lingkungan hidup sang anak. Jangan justru sebaliknya, anak dipaksa mengikuti kurikulum.

Dalam situasi darurat, tunda dulu bicara soal mutu. Tahapan evaluasi dan pengujian, standar kompetensi di daerah lain jangan dipaksakan berlaku sama di daerah bencana. Sebab, kegiatan belajar senormal apa pun tidak serta merta mendongkrak daya serap anak-anak pengungsi yang malang itu. Kehilangan ayah, ibu, adik/kakak tidak dengan mudah terhapus dari ingatan. Mau melanjutkan sekolah saja sudah patut diacungi jempol.(NASRULLAH NARA)

NTT selenggarakan pendidikan layanan khusus

KUPANG, SPIRIT -- Pendidikan Layanan Khusus (PLK) resmi diselenggarakan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Peresmian penyelenggaraan pendidikan ini ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan gedung PLK di Kelurahan Oebufu, Kota Kupang oleh Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (PPLB), Departemen Pendidikan Nasional RI, Ekodjatmiko Sukarso, Jumat (7/3/2008) sore.
Peletakan batu pertama ini disaksikan oleh Direktur Yaspurka Kupang, Y Aryanto Ludoni, B.Sc, Kepala Sub Dinas (Kasubdin) Pendidikan Layanan Khusus, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, Kasubdin Sekolah Menenga Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA), Yusuf Miha Ballo, rombongan dari Jakarta, para guru dan kepala sekolah mitra dan dan ratusan calon warga belajar dari beberapa sekolah kejuruan di Kota Kupang. Selain di Kota Kupang yang diselenggarakan oleh Yaspurka Kupang, PLK juga diselenggarakan di wilayah Tenukiik, Fatubanao, Manumutin di Kabupaten Belu.
Seperti disaksikan Pos Kupang, Direktur PPLB, Ekodjatmiko Sukarso yang datang bersama rombongan dari Jakarta disambut dengan tarian penjemputan tebe-tebe dari Kabupaten Belu, diberi kalungan bunga serta pakaian adat lengkap dari TTS. Acara ini dimeriahkan dengan tarian dan vokal grup dari SMA Kristen Tarus dan SMK Mentari Kupang.
Dalam sambutanya, Ekodjatmiko mengatakan, PPLB lahir karena adanya Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Yang dikenal selama ini, katanya, pendidikan formal yakni sekolah dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), pendidikan non formal, yakni PKBM-PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) seperti Paket A, B ,C, dan pendidikan informal. Pendidikan non formal, kata Ekodjatmiko, filosofinya untuk pendidikan orang dewasa, tetapi munculnya kebijakan politis pemerintah bahwa tahun 2008, Indonesia harus sudah menuntaskan buta aksara maka penyelenggarakan pendidikan ini juga diberikan kepada anak usia 15 sampai 45 tahun.
Menurutnya, PLK menampung anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam, perang, anak-anak cacat, anak-anak yang tidak beruntung dalam bidang ekonomi dan anak-anak dengan kecerdasan istimewa, anak-anak suku terasing, anak korban pengungsian. Dalam penyelenggaraanya ke depan, katanya, PLK harus bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat. Dikatakanya, PLK memiliki mobile school untuk melakukan pendekatan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Sedangkan metode penyelenggaraan pendidikan adalah lokal wisdom (kearifan lokal) dimana kurikulum tingkat satuan pelajaran (KTSP) sesuai dengan kearifan lokal, dengan 20 persen teori dan 80 persem praktek.
Sementara itu, Kasubdin PLK Dinas P dan K Propinsi NTT, Willy Paga, S.Fil, mengatakan, PLB di NTT sudah ada sejak tahun 2000 yang ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) Tahun 2000, dan saat ini sudah berjalan delapan tahun, mulai dari tingkat TKLB sampai SMALB. Pendidikan ini merupakan sekolah yang menampung anak-anak dengan layanan khusus. Di NTT, katanya, ada 24 sekolah terpadu dan sembilan sekolah akselerasi yang selalu lulus UN 100 persen. Sedangkan untuk PLK, katanya, ada beberapa yayasan yang mengelolah, namun yang komitmen dengan PKL hanya Yaspurka Kupang.
Sementara itu, Direktur Yaspurka Kupang, Y Arhyanto Ludoni, B.Sc, dalam sambutanya mengatakan, berterima kasih karena pemerintah melalui Dirjen PPLB sudah mau mencetuskan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak termarjinalkan untuk mengenyam pendidikan. Sebagai orang yang juga komit dengan pendidikan, ia akan terus belajar untuk menyukseskan pengetasan buta aksara di NTT dan akan belajar terus megelolah PLK. Karena menurutnya, berbicara pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. *

Orang-orang Terpinggirkan Tetap Bisa Sekolah Sampai Tamat

Sumber : Rakyat Merdeka

Semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan sampai layak. Termasuk untuk orang-orang yang terpinggirkan.

UNDANG-UNDANG Dasar 1945 Pasal 31 telah menjamin setiap warga Indonesia agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, faktanya, masih banyak warga Indonesia yang belum bisa mengakses pendidikan karena berbagai kekurangan yang dimiliki.

"Kekurangan yang dimiliki para peserta didik ini kadang kala berupa cacat fisik, atau hal-hal lain yang menghalangi mereka belajar sebagaimana orang-orang yang normal," kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia mengatakan, UU Sisdiknas Tahun 2003 semakin memperluas pengertian dari orang-orang terpinggirkan ini. Di masa lalu, pendidikan untuk orang-orang terpinggirkan diistilahkan dengan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Kini, istilah tersebut diganti dengan istilah Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).

PK meliputi pendidikan untuk anak cacat, baik mental maupun fisik, serta pendidikan untuk anak yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan istimewa. Sementara PLK adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi masyarakat yang situasi dan kondisinya membutuhkan pelayanan khusus. Misalnya seperti masyarakat suku terasing yang sulitdijangkau.

"Suku-suku terpencil yang selama ini sulit dijangkau oleh pendidikan formal tetap harus diperhatikan. Kalau tidak bisa dengan pendidikan formal, maka solusinya adalah dengan PLK ini," papar Ekodjatmiko.

Lebih lanjut, Ekodjatmiko menjelaskan, pendidikan untuk suku terpencil ini bahkan dijelaskan secara eksplisit dalam UU Sisdiknas Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi "Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus." Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan suku terpencil ini menjadi salah satu prioritas yang sangat penting.

Program PLK ini juga diperuntukkan bagi anak-anak korban yang daerahnya sedang tertimba musibah, baik berupa bencana alam seperti gempa di Yogyakarta atau tsunami di Aceh, atau sedang terjadi konflik perang seperti di Poso dan Ambon. "Hak-hak anak-anak bangsa tersebut tidak boleh terhenti," ujar Ekodjatmiko.

Dengan program PLK ini, Depdiknas juga memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak jalanan, anak-anak di kompleks pelacuran, pemulung, dan sebagainya. Di kawasan pelacuran Dolly, Surabaya, Depdiknas memiliki satu sentra PLK. Hal serupa juga didirikan di kawasan Pasar Kembang, Yogyakarta. Bedanya, di tempat terakhir ini, PLK lebih diwujudkan dalam bentuk pondok pesantren.

Depdiknas juga memberikan Pendidikan

Layanan Khusus ini kepada anak-anak TKI yang tersebar di luar negeri. Di Makkah al Mukarramah, Arab Saudi, Depdiknas telah membina sekitar 700 anak yang dididik dengan program PLK. Sementara, di Kuala Lumpur, Malaysia terdapat sekitar 200 perseta didik. Di Sabah, tepatnya di perkebunan sawit yang kebanyakan pekerjanya adalah warga Indonesia, Depdiknas telah memiliki enam sekolah untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak TKI. "Layanan PLK juga diberikan kepada daerah tepi perbatasan wilayah Indonesia. Seperti di Atambua misalnya. Depdiknas telah menjalankanprogram PLK ini di tiga lokasi. Rumah mereka saja sangat sederhana, dibuat dari kayu yang diikat jadi satu. Makannyahanya sagu dicampur air. Bagaimana mereka akan memikirkan pendidikan untuk anak-anak mereka?" tambah Ekodjatmiko.

Dia menambahkan, Depdiknas juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pemasyarakatan (Lapas) anak untuk menyelenggarakan program layanan pendidikan bagi anak-anak penghuni Lapas. Menurut Ekodjatmiko, para tahanan itu memang telah kehilangan hak hukum dan kebebasan.

Tapi mereka masih memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Itulah yang menjadi tanggungjawab dari Depdiknas. Hingga saat ini. Depdiknas telah menyelenggarakan kerja sama dengan 16 Lembaga Pemasyarakatan," tandasnya. RMB

Layanan Pendidikan untuk Anak Usia Dini

KabarIndonesia, Jambi - Berdasarkan Keppres Nomor 44 tahun 1984 Hari Anak Nasional ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1984, maka pada setiap tanggal 23 Juli Pemerintah RI selalu melaksanakan hari puncak peringatan Hari Anak Nasional.

Gubernur Jambi, Drs. Zulkifli Nurdin melalui Asisten III Setdaprop Jambi Ir.H. Ahmad Fauzi, MTp mengatakan Pemerintah Propinsi Jambi baru dapat melaksanakan peringatan Hari Anak Nasional pada hari ini (12/8-2008) di Halaman Dinas Pendidikan Propinsi Jambi.

Tema peringatan tahun ini “Saya Anak Indonesia Sejati, Mandiri dan Kreatif” dengan sub tema “Anak Indonesia Sejahtera, Berkualitas dan Terlindungi”.

Sejalan dengan tema tersebut, Gubernur Jambi minta kepada masyarakat Jambi untuk senantiasa dan terus memberikan perhatian serta kasih sayang kepada anak terutama dalam keluarga dengan memberikan hak Asih, Asah dan Asuh, seraya memberikan rangsangan pendidikan melalui lembaga pendidikan anak usia dini. Kepedulian terhadap anak-anak, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga akan dapat menjadi generasi penerus yang berkualitas untuk meneruskan perjuangan visi daerah Jambi, menuju Jambi yang mampu, maju dan mandiri.

Anak adalah anugerah, karunia dan amanah yang tidak boleh diabaikan, apalagi disengsarakan dan tidak dipenuhi hak dan kebutuhannya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Tumbuhnya berbagai lembaga layanan pendidikan anak usia dini, seperti Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan bahkan Tim Penggerak PKK dan beberapa organisasi wanita lainnya melaksanakan layanan Posyandu yang menyatu dengan pendidikan anak usia dini. Hal tersebut merupakan suatu langkah yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan perhatian dan memberikan perluasan layanan pendidikan kepada anak sejak usia dini.

Menurut kajian ilmiah, bahwa 50 % perkembangan kecerdasan anak akan terjadi pada masa usia 0-4 tahun, masa ini sering disebut masa golden age (usia emas). Untuk itu maka memberikan pendidikan bagi anak jangan tunggu usia sekolah dasar, usia TK-pun sudah terlambat. Diharapkan semua anak memperoleh layanan pendidikan sejak usia dini. Keberhasilan seseorang memang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja, oleh karena itu maka dalam memberikan pendidikan hendaklah melakukan empat proses pengolahan secara holistik, yaitu olah hati, olah rasa, olah raga dan olah pikir.

Kepada para orang tua, dan penyelenggara lembaga pendidikan, Gubernur Jambi minta agar dalam melaksanakan proses pembelajaran tidak hanya mementingkan salah satu aspek kecerdasan saja, apalagi kepada anak usia dini hendaklah tidak memberikan penekanan kepada penguasaan kemampuan baca, tulis dan hitung saja. Anak usia dini perlu ditanamkan kecerdasan hati, kecerdasan rasa dan kecerdasan raga, seraya memberikan dasar-dasar kecerdasan pikir.

Terhadap anak-anak harus menjadi prioritas utama untuk memperoleh layanan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan dan keamanan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dalam perlindungan semua pihak.

Ketua Forum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Propinsi Jambi Dra. Hj. Rosmaini mengatakan di Propinsi Jambi anak usia 2-4 tahun yang baru mendapat layanan pendidikan sekitar 97.000 anak, diantaranya di Kelompok bermain, Taman Penitipan Anak, Taman Kanak-kanak, dan Rumah Anak serta Posyandu. Sementara masih terdapat sekitar 58 % anak usia dini dari sekitar jumlah anak sebanyak 230.000 anak yang belum menikmati layanan pendidikan karena alasan ekonomi dan kurangnya pengetahuan orang tua dan keluarga terhadap pentingnya pendidikan bagi anak usia dini 2-4 tahun.

Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jambi, Drs. H Rahmat Derita mengatakan dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Anak Nasional Propinsi Jambi tahun 2008, akan dirangkai dengan berbagai kegiatan ajang kreatifitas anak, simulasi/demonstrasi program pendidikan anak usia dini, dan gelar beberapa sentra bermain anak.

Kadis Pendidikan Propinsi Jambi melaporkan, berdasarkan capaian kinerja pembangunan pendidikan Propinsi Jambi hingga tahun 2007, sudah dapat memperluas akses layanan bagi anak usia dini hingga mencapai angka partisipasi murni (APM) sebesar 49,14 % dari jumlah anak usia 2-6 tahun seabanyak 232.048 orang. Untuk layanan sekolah dasar SD/MI mencapai angka partisipasi kasar (APK) 114,39 % dari jumlah anak usia 7-12 tahun sebanyak 416.000 orang. Untuk layanan pendidikan SMP/MTs mencapai angka partisipasi kasar (APK) 92,78 % dari anak usia 13-15 tahun sebanyak 204.499 orang. Sedangkan untuk layanan pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) baru mencapai angka partisipasi murni (APM) 61,13 % dari jumlah anak 16-18 tahun sebanyak 176.876 orang.

Hal inilah yang mendasari Propinsi Jambi berupaya semakin meningkatkan jumlah anak usia 16-18 tahun dapat terlayani pada jenjang pendidikan menengah, melalui rintisan program wajib belajar pendidikan 12 tahun. Wajib belajar 12 tahun akan member kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh hak layanan pendidikan tanpa dihalangi faktor ekonomi yang tidak mampu membayar biaya pendidikan, sehingga diharapkan mereka akan dapat meningkatkan kompetensi untuk bersaing dan bertahan dalam menjalani kehidupannya.

Rabu, 29 April 2009

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.

Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .

Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.

Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.

Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.

Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi. (www.jatim.go.id/hsn/toeb)

Pemerintah Diminta Lebih Serius Layani Pendidikan Khusus

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat Pendidikan Utomo Dananjaya meminta pemerintah lebih serius melayani anak Indonesia yang membutuhkan pendidikan layanan khusus. Selama ini, kata Utomo, pendidikan layanan khusus dilakukan oleh masyarakat lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah lah yang harus menanggung beban anak Indonesia berkebutuhan khusus ini.

"Pemerintah harus menyiapkan anggaran yang cukup untuk pendidikan layanan khusus, pemberian tanggung jawab kepada lembaga/masyarakat tidak cukup, tidak ada jaminan pendidikan akan terus berlanjut," kata Direktur Institute of Education Reform in, Senin (13/4).

Utomo menganggap pemerintah saat ini lebih bangga memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas, sedangkan untuk anak miskin cenderung diabaikan. "Pemerintah bersikap diskriminatif pada anak miskin dan tertinggal," katanya.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso menyatakan sekitar tiga juta anak Indonesia kesulitan mengakses layanan pendidikan formal (sekolah reguler). Anak-anak itu terdiri dari 2,6 juta orang pekerja anak, 15 ribu orang anak yang lahir di daerah transmigrasi, dan ada 2000 an anak lain yang tersebar di 18 lembaga pemasyarakatan anak.

Selain itu, ada pula anak-anak korban perdagangan orang, anak-anak yang besar di daerah konflik, anak-anak yang hidup di lokasi pelacuran, anak dengan HIV/AIDS, dan anak putus sekolah karena kemiskinan/budaya.

Pendidikan Keagamaan Ditingkatkan

PARIAMAN, METRO--Pemerintah Kota Pariaman akan terus mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan keagamaan di tiap jenjang pendidikan, termasuk Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) dan Taman Pendidikan Seni baca Al Qur’an (TPSA). Hal itu untuk menciptakan intelektualitas siswa dengan sumber daya manusia (SDM) keagamaan andal dan mandiri di masa datang.
Hal itu disampaikan Wali Kota Pariaman Drs H Mukhlis R MM kepada koran ini, kemarin. Katanya, kualitas pendidikan keagamaan yang baik akan mampu membentengi diri anak didik dari pengaruh dunia barat yang merongrong sendi-sendi agama dan budaya.

Menurutnya, perlu strategi yang matang dalam proses pembelajaran. Tiap guru dituntut tidak lagi menggunakan metode yang kaku, namun lebih bervariasi. Karena membangkitkan semangat belajar siswa hal yang paling penting. Sebab pada dasarnya siswa bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus disulut.

Katanya, kegembiraan siswa dalam menerima pembelajaran perlu diperhatikan. Karena itu adalah dijadikan faktor penentu meningkatkan kualitas belajar. Guru dituntut mengoptimalkan peran siswa agar potensi mereka merasa dihargai. Pemahaman inilah yang wajib terus dikembangkan, karena dapat menciptakan kebahagiaan siswa. Sehingga mereka menjadi tekun belajar.

Dijelaskan Wako, kunci utama untuk meraih kesuksesan dalam mewujudkan hal tersebut di atas adalah dengan menciptakan komunikasi yang santun dalam setiap kegiatan belajar mengajar bahkan di luar kegiatan belajar mengajar. Di samping itu marilah terus di pupuk dan kembangkan komitmen dan budaya keteladanan bagi setiap insan pendidikan dalam mendukung terlaksananya program-program pendidikan.

Khusus untuk TPA/TPSA, katanya, untuk meningkatkan kualitasnya Pemko telah mengambil kebijakan mengangkat statusnya menjadi MDA. Tujuan tidak lain untuk mewujudkan pengembangan metode pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Saat ini Pemko bersama dengan DPRD tengah membahas Peraturan Daerah (Perda) Baca Tulis al Quran untuk memperkokoh penanaman nilai-nilai yang terkandung di al Quran itu. Terutama bagi generasi muda sebagai pelanjut tongkat estafet pembangunan.

Muhkis R mengimbau masyarakat untuk membangun keluarga yang baik. Karena pada keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental, tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia.
“Keluarga juga menentukan masyarakat, bangsa dan negara. Tentunya semuanya itu bisa tercapai, jika setiap keluarga dapat mewujudkan keluarga sejahtera,” tandasnya.(efa)

2009, Indonesia Butuh 40 Ribu Guru

Medan ( Berita ) : Kabar gembira bagi calon-calon guru. Tahun 2009 mendatang, pemerintah akan mengambil kebijakan dengan menerima sebanyak 40 ribu guru se Indonesia, baik dari lulusan pendidikan maupun non pendidikan.
“Kebijakan ini ditempuh pemerintah sebagai upaya peningkatan kualitas pendidik di Sekolah Menegah Kejuruan (SMK),” ujar Pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Sumut Drs Delta Pasaribu MPd pada penutupan LKS se – Sumut di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumut, kemarin.
Dengan adanya kebijakan ini lanjut Delta, tahun depan sarjana teknik yangsangat diperlukan di SMK bisa di terima sebagai guru SMK. Sehingga ke depannya diharapkan kualitas lulusan SMK akan merata.
Delta mengakui, saat ini kemajuan dan kualitas pendidikan SMK yang ada di Sumut masih belum merata di setiap daerah. Salah satu buktinya masih banyak kabupaten/kota yang tidak memenangkan satu juara pun dalam lomba keterampilan siswa (LKS) se – Sumut yang digelar sejak 1-5 Desember 2008.
Menurut Delta, dari 25 jenis perlombaan yang ada di LKS se-Sumut tersebut, ada beberapa kabupaten/kota yang tidak memenangkan satu jenis kompetisi sama sekali. Ini membuktikan bahwa, kualitas SMK yang ada di Sumut belum merata secara keseluruhan. Seperti kabupaten Langkat dan Samosir, siswa yang mewakili kedua Kabupaten ini tidak ada yang juara.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Delta maka diperlukan adanya perhatian khusus untuk Kabupaten/Kota yang kualitas SMK-nya masih minim, sehingga penyebaran kualitas yang merata dapat dicapai.
“Hal itu sesuai dengan intruksi pemerintah pusat, setiap Disdik harus lebih memperhatikan peningkatan kualitas dan kuantitas SMK dibanding SMA,” ujar Delta.
Dijelaskannya, pemerataan kualitas SMK di Sumut tersebut dilakukan dengan membangun fasilitas SMK yang merata di setiap daerah yang ada, khususnya penyediaan alat-alat laboratorium yang lengkap, serta melatih gurudalam pengunaan alat-alat tersebut. “Untuk meningkatkan kualitas SMK, berbeda dengan SMA. Untuk SMK, pembagunan laboratorium yang lengkap dan memadai itu yang utama,” terangnya.
Sementara itu, Kasubdis SMK Disdik Sumut, Erni Mulatsih menyatakan, setiap siswa yang mendapatkan juara satu dalam LKS tersebut, akan mewakili Sumut dalam kompetisi LKS tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada 12 - 17 Mei 2009 mendatang. Dijelaskan Erni, peserta LKS tersebut yang banyak memenangkan kompetisi adalah siswa perwakilan Kota Medan, Deli Serdang dan Tebing tinggi.

Disdik Sumut Anggarkan Rp 32 Miliar Tingkatkan Kualitas SMK

*nana miranti
MedanBisnis – Medan
Dinas Pendidikan Sumatera Utara menganggarkan Rp 32 miliar pada APBD Sumut 2009 untuk mencapai peningkatan kualitas dan mutu Sekolah Menegah Kejuruan (SMK). Tahun 2008, dana yang sama untuk program SMK sebesar Rp 7 miliar.

Hal itu disampaikan Kepala Seksi Bidang SMK Disdik Sumut, Erni Mulatsih, di sela-sela pembukaan acara lomba keterampilan siswa (LKS) tingkat SMK se-Sumut, di Kantor Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumut, Senin (1/12).
Erni mengakui, kualitas SMK yang ada di Sumut masih sangat rendah. Sehingga dengan naiknya anggaran APBD tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kualitas SMK yang ada. “Dana ini nantinya akan difokuskan untuk semua jurusan yang ada di SMK,” ujarnya.
Penggunaan dana tersebut antara lain direncanakan untuk peningkatan sarana dan prasarana SMK, seperti alat-alat laboratorium. Pembangunan perpustakaan dan pembangunan sekolah SMK bertaraf internasional.
“Saat ini ada 11 SMK rintisan yang akan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI),” ucapnya.
SMK yang dirintis menjadi SBI tersebut antara lain, SMK 2 Kisaran, SMK 1 Raya, SMK 1 Percut, SMK 1 Sibolga, SMK 2 Tebing Tinggi, SMK 3 Medan, SMK 8 Medan, SMK Teladan Medan, SMK Tunas Pelita Binjai, SMK Padang Sidempuan, dan SMK Balige.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik Sumut, Delta Pasaribu menyatakan, anggaran APBN dan APBD untuk pendidikan untuk tahun 2009 dipastikan akan naik. Khusus dari dana APBD posting pendidikan akan memperoleh dana sebesar Rp 705 miliar.
“Dana itu untuk Disdik, perpustakaan daerah, dinas pemuda dan olah raga, hibah serta bantuan sosial,” ungkapnya.
Khusus untuk Dinas Pendidikan, akan memperoleh Rp 168 miliar dari APBD 2009, yang akan difokuskan untuk merintis sekolah bertaraf internasional, baik SMA maupun SMK. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41, yaitu untuk tahun 2009 Disdik diwajibkan untuk memfokuskan pembangunan SBI.
“Memang untuk SMK pembentukan SNI itu nantinya lebih difokuskan,” ujarnya.
Peningkatan dana pendidikan APBN dan APBD tersebut nanti, secara umum akan difokuskan untuk pembangunan akses dan daya tampung pendidikan. Peningkatan daya saing mutu dan relevansi. Serta peningkatan tata kelola, pencitraan publik dan akuntabilitas pendidikan.
“Nantinya juga akan difokuskan untuk tunjangan profesi guru, dimana hanya baru 20% guru yang berhak mendapatkan tunjangan tersebut,” terangnya.
Fokus Pada SMK
Dalam kesempatan yang sama Erni juga mengatakan, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional juga memutuskan untuk memfokuskan peningkatan SMK, terutama dari segi jumlah siswa. Dimana pada tahun 2010 mendatang ditargetkan perbandingan jumlah siswa SMK dan SMA yaitu antara 60 berbanding 40, dan 2015 ditargetkan 70 berbanding 30.

Kualitas SMK Dukung Pertumbuhan Ekonomi

Makassar - Peningkatan proporsi dan kualitas sekolah menengah kejuruan atau SMK diperlukan untuk memenuhi percepatan pertumbuhan sumber daya manusia tingkat menengah yang siap kerja, cerdas, dan kompetitif. Upaya ini diharapkan dapat mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.

”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibandingkan SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam acara pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar, Selasa (24/6).

Hadir dalam acara itu antara lain anggota Komisi X DPR, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, dan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djojonegoro. Lomba uji keterampilan siswa SMK itu berlangsung pada 24-28 Juni.

Menurut Bambang, peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran di SMK ini untuk meningkatkan daya saing dan relevansi pendidikan kejuruan dengan kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2007, proporsi jumlah SMK mencapai 44 persen, sedangkan SMA 56 persen. Pada tahun 2015 proporsi SMK ditargetkan mencapai 70 persen.

Ajang Lomba Keterampilan Siswa (LKS) SMK, kata Bambang, harus dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menguji kompetensi dan keterampilan siswa SMK Indonesia pada skala nasional dan internasional untuk menjawab tuntutan dunia kerja.

Ketua Umum Panitia LKS SMK XVI A Patabai Pabokori menjelaskan, lomba ini diikuti 900 siswa SMK dari seluruh Indonesia. Ada 50 kompetensi lomba di bidang teknologi, bisnis manajemen, pariwisata, pertanian, dan kerajinan. (Kompas)

Kurikulum Ekonomi Syariah untuk Pendidikan Dasar dan Menengah

Kita bersyukur bahwa sudah banyak perguruan tinggi (PT) yang mengajarkan ekonomi syariah di tanah air. Beberapa lembaga bahkan fokus menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) seperti STEI SEBI, STEI Tazkia dan STIS Yogyakarta. Sedangkan beberapa universitas besar telah membuka konsentrasi ekonomi syariah seperti UI, Unair, IPB, UIN Jakarta, UIKA Bogor, dan sebagainya. Selain itu program pasca sarjana juga banyak ditawarkan seperti di PSKTTI UI, UIKA Bogor, Trisakti untuk program Magister, dan bahkan Trisakti dan UIN Jakarta sudah menawarkan sampai program Doktoral.

Peminatnya pun luar biasa, untuk program Magister misalnya PSKTTI UI memiliki peserta yang mencapai sekitar 500-an. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat besar dibanding peminat program pasca sarjana diberbagai Universitas lain didunia yang sudah lama membuka program ini. Tak heran kalau banyak pakar ekonomi Islam terkagum-kagum dengan perkembangan di Indonesia ini dan mereka menaruh harapan besar. Dr. Monzer Khaf misalnya sangat antusias dan berharap akan muncul 'fajar ekonomi Islam' dari Timur, yang sebelumnya studi dan kajiannya tertinggal dari kawasan Timur Tengah dan Barat.

Tentunya dengan dukungan dan harapan tersebut semakin membuat kita berusaha memperbaiki diri, terutama berkaitan dengan tangungjawab untuk merealisasikan pendidikan ekonomi syariah sampai tingkat pendidikan dasar. Karena bagaimanapun pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan tetapi yang jauh lebih penting adalah proses internalisasi nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktivitas hidup, dan ini tentunya akan sangat efektif jika diterapkan semenjak pendidikan dasar. Selain itu, dalam pendidikan dasar dan menengah saat ini, pendidikan ekonomi masih didominasi oleh worldview dan muatan ideologi kapitalisme. Dan hal ini yang menjadi akar kerusakan yang dahsyat dalam perekonomian dan ini tentunya membutuhkan sebuah perubahan yang serius dan fundamental.

Ekonomi Syariah Tingkat Dasar dan Menengah

Upaya untuk mewujudkan pendidikan ekonomi syariah untuk tingkat dasar dan menengah ini bukan sekedar wacana, tetapi sudah mulai dirintis. Kita bisa melihat upaya ini misalnya dirintis oleh Pemerintah Kota Tasik, Jawa Barat. Pelajaran Ekonomi Islam di Tasik diberikan kepada Siswa SMP secara bertahap. Pemkot Tasik, melalui SK No 421.7/2005 menjadikan pelajaran ekonomi Islam sebagai muatan lokal yang wajib diberikan kepada siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah.

Ketentuan tersebut berlaku mulai tahun 2006 dimana seluruh sekolah lanjutan tingkat pertama dan sejenisnya harus mengajarkan muatan lokal tersebut. Penerapannya dilakukan bertahap, untuk tahun ajaran 2005/2006 mata pelajaran ekonomi Islam dimasukan dalam mata pelajaran pengetahuan sosial dan ekonomi. Pelajaran tersebut disampaikan kepada siswa kelas VII (kelas 1 SMP) Kemudian pada tahun berikutnya, 2006-2007, pelajaran ekonomi syariah menjadi muatan lokal wajib untuk siswa kelas VII, VIII dan IX (siswa kelas 1, 2, dan 3). Materinya diberikan untuk dua jam pelajaran. Tahun 2007-2008 dan seterusnya, materi pelajaran ekonomi Islam disampaikan tersendiri dengan judul ekonomi Islam. Langkah ini adalah sebuah terobosan yang sangat bagus dan layak dicontoh oleh pemerintah daerah yang lain.

Hal yang sama juga mulai di rintis di Perguruan Al Azhar untuk menjadi pilot proyek dengan menjadikan ekonomi syariah menjadi muatan lokal di seluruh SMP dan SMA Al-Azhar. Mereka sudah akan mulai tahap awal dengan pelatihan sekitar 500 guru SMP dan SMA-nya untuk memperoleh pengajaran tentang sistem ekonomi syariah. Tentu ini adalah langkah yang maju dan cukup menggembirakan, meski ini baru upaya awal kepeloporan.

Saat ini kita tertinggal dari Malaysia, dimana pelajaran ekonomi syariah disana sudah diajarkan sejak kelas 1 SMU sejak lebih dari 20 tahun lalu. Dan kurikulumnya terus dikembangkan sesuai perkembangan ekonomi syariah. Ekonomi syariah menjadi bagian dari pelajaran ekonomi umum dan karena itu yang mengaturnya departemen pendidikan dan bukan departemen agama. Malaysia memiliki tujuan agar ekonomi syariah diajarkan di seluruh sekolah, negeri dan swasta dan dipelajari semua siswa, Muslim dan non-Muslim. Dengan demikian ekonomi syariah masuk ke dalam kurikulum nasional tidak sekedar muatan lokal.

Malaysia benar-benar berusaha mengembangkan diri menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah. Untuk mendukung rencana tersebut, pemerintah membekali pelajar sekolah menengah umum dengan ilmu ekonomi Islam. Dengan cara ini diharapkan, kesadaran dan pengetahuan ekonomi Islam tumbuh sejak dini.

Langkah Strategis

Proses perbaikan perekonomian bangsa ini sungguh sangat mendesak, dan langkah paling fundamental adalah membenahi pembentukan SDI. Bagaimanapun kerusakan sistem ekonomi kita, paling fundamental dipengaruhi oleh kesalahan dan kerusakan ilmu ekonomi yang diajarkan, ditanamkan serta membentuk perilaku ekonomi individu sejak kecil. Harus diakui bahwa dominasi pengajaran ilmu ekonomi di pendidikan dasar kita adalah warisan pencerahan Eropa dan dikembangkan dari filsafat barat yang bermuatan ideologi kapitalisme. Dan sebagaimana telah disadari oleh pengkaji teori ilmu-ilmu sosial, filsafat barat dan ideologi kapitalisme memiliki cacat bawaaan, mengidap "retakan epistemologis (epistemological rupture)", sehingga tidak bisa menjadi landasan dalam membangun ilmu sosial yang kokoh.

Kerusakan ilmu inilah yang kemudian menyesatkan 'anak didik', bahkan sampai ketika menjadi pemimpin dan pengambil kebijakan ekonomi (Wan Mohd Nor Wan Daud, "Filsafat dan Praktik Pendidkan Islam Syed M. Naquib Al-Attas", Mizan, 2003: 112-118). Bagi kita yang pernah mengenyam pengajaran ekonomi di pendidikan dasar-menengah dan saat bersamaan mendapatkan pendidikan al-Islam tentu merasakan split personality. Ada kontradiksi yang luar biasa antara muatan ilmu ekonomi tersebut dengan pendidikan al-Islam yang kita dapatkan. Itulah yang dialami oleh kita semua, dan seluruh anak-anak negeri ini yang sebagian besar hidup dalam keluarga yang menekankan spiritualitas.

Oleh karena itu, secara bersama-sama harus dilakukan upaya sistematis dan terencana untuk melakukan pembenahan dalam sistem dan kurikulum pendidikan ekonomi. Untuk itu penulis mengusulkan beberapa langkah strategis untuk memulai upaya ini:

Pertama, memperbanyak upaya kepeloporan pedidikan ekonomi syariah dari sekolah dasar dan menengah milik Ormas Islam. Banyak Ormas Islam yang memiliki lembaga pendidikan yang jumlahnya ribuan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama', Hidayatullah, Persis, dll. Tentu upaya kepeloporan dapat dimulai dari ribuan sekolah-sekolah yang dimiliki oleh Ormas Islam tersebut untuk mulai mengkaji dan merealisasikan kurikulum ekonomi syariah. Langkah ini tentu akan lebih mudah, baik melalui kurikulum lokal maupun memasukkan dalam muatan pengajaran baik untuk sekolah umum, madarasah, pesantren, maupun SDIT-nya. Tentu saja hal ini membutuhkan kepedulian, keberpihakan dan pengorbanan para tokoh, pimpinan, guru-guru untuk bersama-sama mengkaji kembali kazanah ekonomi Islam yang sangat kaya ini. Buku-buku rujuakan tentang Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Mikro Ekonomi Islam, dan Makro Ekonomi Islam yang sudah banyak beredar bisa dijadikan rujukan awal.

Kedua, melakukan reformasi kurikulum ekonomi di Depag dan Depdiknas. Sebagaimana dipahami bahwa dua induk regulasi pendidikan kita ada di dua lembaga ini, untuk madarasah-madarasah ada di Depag dan sekolah-sekolah umum ada di Diknas. Seluruh muatan kurikulum nasional diatur oleh lembaga ini. Oleh karena itu harus terus didorong agar ekonomi syariah baik secara formal maupun substantif masuk dalam muatan kurikulum. Keberhasilan Malaysia perlu dicontoh, tentu saja dengan perbaikan yang fundamental. Kita telah mengalami kemajuan yang cukup berarti untuk kurikulum ekonomi syariah bagi pendidikan tinggi (PT) di Depag, dan di Dikti sudah dibolehkan masuk minimal pada mata kuliah pilihan. Tetapi belum ada perkembangan sama sekali untuk kurikulum di pendidikan dasar dan menengah, dan ini harus menjadi perhatian semua pihak. Karena pendidikan dasar dan menengah adalah masa emas pembentukan kepribadian yang paling efektif.

Ketiga, menyediakan buku-buku panduan pengajaran dan pendukungnya. Hal ini tentu saja perlu kebijakan keberpihakan anggaran baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk pendanaan pengembangan studi ekonomi syariah. Kita perlu mencontoh Malaysia yang setiap tahun pemerintahnya menyediakan 200 juta ringgit (sekitar Rp 500 milyar) khusus untuk pengembangan ekonomi Islam.


Keempat, mengoptimalkan potensi keunggulan fasilitas dan program belajar di Sekolah Islam-Terpadu (SD-IT/SMP-IT/SMA-IT) maupun Pesantren Modern yang juga sudah mengembangkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Karena perkembangan literatur ekonomi syariah yang paling banyak saat ini adalah dalam dua bahasa ini. Dengan demikian model-model lembaga pendidikan unggulan ini diharapkan dapat menjadi syaitaroh (mercusuar) penyiapan SDI unggulan yang diharapkan nantinya akan melanjutkan pada PT dan mengambil jurusan ekonomi syariah. Sehingga kedepan mereka akan menjadi tokoh-tokoh ekonomi Islam baik sebagai praktisi, birokrat, akademisi, maupun entrepreneur yang handal. Selain itu ketersediaan referensi, perpustakaan yang lengkap dan akses internet bisa mempermudah proses pembelajaran baik untuk guru maupun santri.

Kelima, pengembangan kurikulum ekonomi syariah harus terus dilakukan. Karena bagaimanapun, pengembangan ekonomi Islam sangat berkaitan dengan upaya mempertahankan warisan ilmu keislaman dan disisi lain berhadapan dengan pengaruh dari perkembangan ilmu ekonomi modern. Dan proses pemantapan ekonomi Islam untuk menjadi disiplin ilmu dan diakui keilmiahannya terus berlangsung. Selain itu perkembangan institusi ekonomi syariah juga terus mengalami perkembangan. Dengan demikian kurikulum ekonomi syariah diharapkan mampu merespon perkembangan sehingga akan menjadi kurikulum yang menarik dan dinamis. Selain itu kurikulum tersebut harus lah bersifat integratif, dimana aspek kognitif, afektif, dan psiko-motorik dapat berjalan dengan harmonis dan memberdayakan peserta didik. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Abdul Aziz Setiawan. Peneliti pada Pusat Penelitian STEI SEBI dan Analis pada International Institute of Islamic Finance (IIIF).

Dinas Pendidikan Menengah Dinilai Boros

TEMPO Interaktif, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 56 penyimpangan sebesar Rp 25,984 miliar di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta. Itu baru hasil pemeriksaan BPK pada semester kedua 2005, khusus kinerja Dinas pada tahun anggaran 2004.

Anggota BPK Baharuduin Aritonang mengatakan, BPK telah mengeluarkan rekomendasi untuk setiap kasus yang ditemukan. Termasuk rekomendasi itu adalah pemberian sanksi kepada petugas yang terlibat dan pengembalian uang ke kas negara.

BPK telah melaporkan semua temuan itu ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Kami sudah laporkan. Selanjutnya Dewan yang harus mengejar," kata Baharudin.

BPK membagi penyimpangan di Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi ke dalam dua kategori. Pertama, penyimpangan terhadap azas kehematan. Jumlahnya mencapai 33 kasus dengan nilai pemborosan sekitar Rp 5,713 miliar.

"Sebesar Rp 3,338 miliar tergolong merugikan keuangan negara," tulis BPK dalam dokumen laporan yang diterima Tempo.

Termasuk dalam kategori pemborosan, misalnya, pembayaran ganda ganda akomodasi dan konsumsi pada loka karya peningkatan mutu SMA sebesar Rp Rp 437 juta, proyek pengadaan buku pelajaran dan perpustakaan kemahalan sekitar Rp 954 juta, dan pengadaan program Pesona Fisika dan Multimedia untuk SMA yang tidak sesuai aturan sebesar Rp 1,272 miliar.

Jenis temuan kedua adalah penyimpangan yang mengakibatkan tak tercapainya tujuan program. Jumlahnya ada 33 kasus dengan nilai penyimpangan sekitar Rp 20,271 miliar. Dari jumlah itu, yang dianggap merugikan keuangan negara sekitar Rp 191 juta.

Jadi, menurut BPK, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta paling tidak harus mengembalikan uang ke kas negara sebesar Rp 3,529 miliar.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Margani M Mustar membantah ada penyimpangan di lembaganya. "Tak ada penyimpangan, tak ada kerugian negara," kata Margani kepada Tempo di kantornya, Jumat (2/6) malam.

Awalnya, kata Margani, Dinas menyambut baik keinginan BPK memeriksa. "Kami senang, karena kami pikir akan mendapatkan feed back." Tapi, kata Margani, saat pemeriksaan itu berakhir, "Kami kecewa dengan hasil pemeriksaan BPK."

Menurut Margani, temuan BPK-lembaga audit tertinggi negara-itu bertentangan dengan temuan Badan Pengawasan Daerah yang juga memeriksa Dinas Pendidikan Menengah pada periode yang sama, Lembaga audit tingak provinsi itu, kata Margani, sama sekali tak menemukan penyimpangan.

Meski begitu, Dinas Pendidikan Menengah kini tengah meneliti ulang temuan BPK. Termasuk yang diteliti itu temuan pembayaran ganda akomodasi dan konsumsi workshop peningkatan mutu SMA.

"Kami heran mengapa kasus itu masih dipublikasi. Kami sebelumnya telah memberi tanggapan, itu sesuai anggaran dalam daftar isian proyek." Jika dalam penelitian ulang temuan BPK tidak terbukti, kata Margani, "Dinas tak akan mematuhi rekomendasi BPK."

INDRIANI DYAH S

Benahi Pendidikan Dasar!

Sebagus apapun program sertifikasi, jika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Sekolah Dasar (SD) tidak berorientasi kepada output, hasilnya tidak akan memuaskan. Sebaliknya, jika di SD sudah benar, maka dapat dipastikan di jenjang berikutnya pun niscaya akan lancar. Semua tujuan pendidikan yang pernah dicantumkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, mengisyaratkan kehendak adanya perubahan pada diri murid setelah menempuh pendidikan. Macam perubahan itu, meningkat seiring dengan jenjang pendidikan yang ada. Adapun perubahan yang diinginkan ada pada diri murid adalah dalam bentuk kecerdasan, ketakwaan, dan keterampilan.Untuk mencapai itu, tentu saja pendidiknya pun harus yang cerdas, takwa, dan juga terampil. Jika guru, apakah Ia menempatkan diri sebagai pendidik atau sebagai pengajar tidak cerdas, tidak takwa, dan tidak terampil, masih bisakah pendidikan disebut sebagai usaha sadar? Bisa jadi masih bisa disebut demikian. Tapi, kesadaran yang ada ialah “sadar bahwa tujuan cerdas, takwa, dan terampil itu tidak akan tercapai.” Bahkan bisa dikatakan “telah tidak tercapai.”
Maka dari itu, hasil pendidikan sebagai usaha sadar setiap pendidik hendaklah tercermin dalam diri murid. Dengan kata lain, hasil yang ingin dilihat ialah “murid yang cerdas-murid yang takwa-murid yang terampil.” Mari menengok ke belakang sebagai perbandingan. Jika 50 tahun yang lalu seorang murid kelas 2 tidak hafal perkalian, maka bisa dipastikan Ia tidak akan naik kelas. Namun sekarang, bisa disurvei bahwa banyak murid yang tidak hafal perkalian, telah bisa duduk nyaman bahkan di kelas 6. Jika 50 tahun yang lalu murid kelas 1 belum bisa membaca, maka bisa dipastikan tidak naik kelas. Namun sekarang, malah banyak anak kelas 6 yang kepandaian membacanya masih sangat menyedihkan.
Dari fakta diatas kita bisa mengevaluasi lebih jauh. Walaupun usaha perbaikan pendidikan terus dilakukan, namun hasilnya tidak menjadi lebih baik bahkan dibandingkan 50 tahun yang lalu. Karena, semakin ke sini usaha perbaikan pendidikan hanya melulu ditujukan kepada peningkatan mutu guru. Lewat penataran, diklat, seminar, kuliah, dll. Hasilnya apa? Silakan beri tugas kepada 48 anak di kelas gemuk tingkat SLTP kelas I. Tugasnya sederhana saja. Suruh membuat ruas garis yang panjangnya 10 cm. Kemudian ruas itu dibagi dua dengan memberi titik di tengahnya. Pada tugas itu, berikan dalam sebuah kalimat, “buatlah garis yang panjangnya 10 cm dan beri titik di tengahnya, sehingga garis itu terbagi dua.” Bagaimana hasilnya? Jangan kaget. Saya pernah lakukan itu di 11 kelas. Tidak ada kelas yang hasil benarnya lebih dari 5 orang. Ini baru bikin garis. Belum yang lainnya. Mengerikan. Kemampuan bicara? Rasa percaya diri? - Bahkan Anda pasti tidak percaya, jika sekarang ada murid kelas 1 SLTP yang menjawab bahwa “kaki kambing itu delapan.” Jauh, jauh sekali jika dibandingkan dengan prestasi anak-anak dulu.
Ditengah situasi seperti itu, jika kita semua masih berkata bahwa dunia pendidikan kita sudah maju, alangkah dustanya kita. Kita seakan mengejar masa lalu orang lain. Sayang, saya tidak bisa bertemu dengan Menteri Pendidikan Nusantara kita ini. Padahal banyak hal yang ingin saya sampaikan. Paling tidak saya ingin berkata : Benahi dulu pendidikan dasar, jangan bikin guru stress dengan administrasi kelas. Periksa muridnya, jangan periksa administrasinya, atau sederhanakan administrasi kelasnya.

DUKUNG PENDIDIKAN DASAR GRATIS Fokus Pada Pendidikan Berkualitas

Pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan berkualitas harus menjadi komitmen pemerintah. Dukungan untuk penyelenggaraan wajib belajar SD-SMP gratis justru harus semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
”Untuk persoalan pendanaan pendidikan dasar, UU BHP bisa dikatakan menghapus ketidakkonsistenan aturan lain. Di sini ditegaskan pemerintah harus menanggung biaya pendidikan dasar. Dukungan pemerintah untuk sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar juga harus ada,” kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Senin (5/1) di Jakarta, dalam acara konsultasi pakar pendidikan menguji UU BHP yang dilaksanakan Education Forum.

Tanggung jawab pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar di sekolah swasta meliputi biaya operasional dan beasiswa. Selain itu, pemerintah berkewajiban memberikan bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sehingga menikmati layanan pendidikan sesuai dengan standar nasional.

DilevelSD-SMP

Di sisi lain, Abbas mengingatkan, pencapaian pendidikan dasar berkualitas masih dipertanyakan. Di pihak lain, pemerintah justru berorientasi pada pencapaian statistik semata. Fokus pada pendidikan dasar gratis dan berkualitas ini harus dilakukan karena secara umum pendidikan masyarakat Indonesia masih di levelSDatau di tahun pertama SMP. Chitra Hariyadi dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengatakan, pencapaian pendidikan dasar secara kuantitatif dan kualitatif pada kenyataannya masih rendah.
Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kebutuhan birokrasi, sedangkan pemerintah daerah masih mengandalkan kucuran dana dari pusat.
Sementara itu, persiapan untuk uji materiil UU BHP terus dilakukan Education Forum. Pakar pendidikan Soedijarto, Winarno Surachmad, dan Utomo Dananjaya meyakini penerapan BHP hanya akan menimbulkan masalah dan tidak memecahkan persoalan keterpurukan pendidikan di negara ini.

Menakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang

(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)

Selasa, 28 April 2009

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Selasa, 10 Maret 2009

Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”. Oleh karenanya Pendidikan keagamaan jelas merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menyiratkan arti pentingnya pendidikan agama dan keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.

Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.

Penulis: Dadan Permana

Kiriman dari: Dadan Permana

Sabtu, 25 April 2009

Anak Nelayan Terima Layanan Khusus

Anak-anak yang tinggal di perkampungan nelayan Muaraangke, Penjaringan, Jakarta Utara, membutuhkan perlakukan khusus. Pasalnya, anak-anak tersebut tinggal bersama orangtua yang tergolong miskin dan tidak bisa memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka juga tergolong sulit untuk bersekolah.

Atas pertimbangan itu, Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Lentera Bangsa menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak nelayan di Blok Empang, Kampungbaru, Muaraangke. Sebanyak 180 anak usia TK hingga SMA bersekolah di sekolah khusus tersebut. Mereka tanpa berseragam sekolah bisa menikmati pendidikan layaknya di sekolah formal.

Khaerul (10), salah satunya. Siswa kelas 4 SD ini sangat senang bisa bersekolah di PLK Lentera Bangsa. Alasannya, dia bisa belajar menggunakan komputer. ”Baru bisa pakai komputer sedikit,” ucapnya saat ditemui Warta Kota di Muaraangke, Rabu (8/4).

Selain itu, Khaerul bisa menambah pengetahuan pendidikan formal, seperti matematika, bahasa Indonesia, dan IPA di sekolah tersebut. Darsidah (48), orangtua Khaerul, ingin agar anaknya bisa terus bersekolah, selama sekolah itu tidak memungut biaya. ”Kalau harus pakai biaya, duit darimana,” ucapnya.

Dikatakan Darsidah, penghasilan suaminya sebagai kuli dorong gerobak ikan tidak memadai untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. ”Kalau ada pekerjaan, paling sehari dapat Rp 50.000,” katanya.

Bangunan sekolah di PLK Lentera Bangsa tidak seperti sekolah umumnya. Sekolah yang berdiri dua tahun terakhir itu dibangun di atas empang. Jika hujan, jalanan di sekitar sekolah becek. Akibatnya, sandal atau sepatu anak-anak pun tebal dengan tanah cokelat. Ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya biasanya tanpa alas kaki atau memakai sepatu boot.

”Yang penting anak bica cari ilmu,” ujar Rohani (30) yang dua anaknya duduk di bangku TK PLK Lentera Bangsa.

Bangunan sekolah dibuat dari bilah-bilah bambu, jendela dari kawat, lantai dari kayu, dan atap dari asbes. Bangunan sekolah yang luasnya sekitar 36 meter persegi itu terbagi dua ruang. Setiap ruang memiliki dua papan tulis. Guru yang siap sedia mengajar ada 6 orang, termasuk 3 mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Lentera Bangsa.

Selain memberikan pendidikan formal, Lentera Bangsa juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti perbengkelan dan cuci motor atau mobil. ”Kami juga akan memberikan keterampilan tata boga dan tata busana, tapi peralatannya belum ada dan sedang diusahakan,” ucap Saefudin Zuhri, Ketua PLT Lentera Bangsa.

Dia mengatakan, untuk membawa anak-anak mau bersekolah, bukan perkara mudah, walaupun sekolah gratis. Zuhri dan teman-temannya harus terus membujuk agar para orangtua menyekolahkan anak-anaknya.

Biaya operasional itu diperoleh Saefudin dari para donatur dan blockgrand dari pemerintah Rp 50 juta per tahun.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, mengatakan, anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. (Intan Ungaling)

Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru

Sabtu, 11 April 2009 | 03:13 WIB

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.

Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.

”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.

Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.

Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.

Tumbuh dari masyarakat

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.

Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.

Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.

Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.

Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.

”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.

Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.

Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Adapun sekolah-sekolah yang mendapatkan bantuan subsidi adalah sebagai berikut :

1.

SLB Negeri Pembina Kupang
2.

SDLB Negeri Kupang
3.

SLB Asuhan Kasih Kupang
4.

SLB Negeri Oelmasi Kab. Kupang
5.

SLB Negeri Nunumeu Soe
6.

SDLB Negeri Benpasi
7.

SLB Negeri Tenubot Belu
8.

SLB Negeri Rote Ndao
9.

SDLB Negeri Mebung Alor
10.

SDLB Negeri Beru Maumere
11.

SLB/C Bakti Luhur
12.

SLB Negeri Ende
13.

SLB Negeri Bajawa
14.

SLB/A Karya Murni Ruteng
15.

SLB/B Karya Murni Ruteng
16.

SDLB Negeri Tenda Ruteng
17.

SDLB Negeri Waingapu
18.

SLB Negeri Waikabubak
19.

SDN Batuplat 2
20.

TK Terpadu Assumpta
21.

SMP Negeri 1 Kupang Tengah
22.

SMP Negeri 2 Kupang (Akselerasi)
23.

SMPK St. Theresia Kupang (Akselerasi)
24.

SMAK Giovani Kupang (Akselerasi)
25.

SMA Mercusuar Kupang (Akselerasi)
26.

SMA Negeri 1 Kupang
27.

SMA Negeri 1 Kupang Timur
28.

SMP Negeri 1 Soe
29.

SMP Negeri 1 Maumere
30.

SMP Negeri 2 Ruteng
31.

SMAK Setya Bakti Ruteng (Akselerasi)
32.

SMAK St. Fransisikus Zaverius
33.

SMA Negeri 1 Waingapu (Akselerasi)

Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Tiga Juta Anak Butuh Pendidikan Khusus

Media Bawean, 13 April 2009

Sumber : SINDO
JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.

”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.

Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik. (rendra hanggara)

Pendidikan Tinggi dan Globalisasi

Globalisasi membawa dampak luas pada berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sampai pendidikan tinggi. Globalisasi dan pendidikan tinggi lalu menjadi isu penting dalam wacana publik, merujuk empat hal pokok.
Pertama, globalisasi merupakan gejala mondial yang ditandai aktivitas bisnis dan perdagangan antarnegara yang kian intensif. Kedua, globalisasi memicu knowledge-driven economy, yang mensyaratkan tenaga-tenaga profesional dan berketerampilan tinggi, untuk bekerja di sektor industri, bisnis, dan jasa.

Ketiga, globalisasi ekonomi mendorong kompetisi antarbangsa, yang menuntut
setiap negara memiliki daya saing kuat. Keempat, daya saing bangsa dapat
dibangun dengan baik bila ditopang perguruan tinggi (PT) yang bagus dan kuat,
yang mampu melahirkan orang terdidik, mahir, dan berkeahlian.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan tinggi memainkan peran sentral
dalam membangun masyarakat berpengetahuan, tercermin pada munculnya lapisan
kelas menengah terdidik dan kaum profesional yang menjadi kekuatan penentu
kemajuan ekonomi. Mereka merupakan elemen pokok dalam menyokong ekonomi
berbasis pengetahuan.
Ilmu pengetahuan menjadi investasi modal yang amat penting, sekaligus
faktor determinan dalam proses produksi. Sebab, aktivitas ekonomi lebih
bersifat padat pengetahuan sehingga dukungan sumber daya alam menjadi berkurang
(Latham 2001). Selain itu, teknologi komunikasi dan informasi berperan dominan
mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan global.
Dengan demikian, peran PT menjadi penting sebagai basis produksi,
diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. PT berperan
strategis dalam konteks pembangunan kapasitas dan peningkatan keahlian,
kompetensi profesional, dan kemahiran teknikal.
Bangsa yang mempunyai banyak manusia terdidik, berpengetahuan, dan
menguasai teknologi pasti memiliki daya saing kuat dalam kompetisi ekonomi
global. Daya saing nasional amat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan
mendorong program riset dan pengembangan untuk melahirkan berbagai penemuan
baru.
Simak ungkapan Anthony Giddens dalam The Global Third Way Debate (2002),
”kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya
dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset (seperti yang ditunjukkan oleh
Jepang, China, dan Korea Selatan)”.
Produktivitas nasional
Untuk itu, hubungan segi tiga antara ilmu pengetahuan, dunia industri,
dan universitas (triple helix of knowledge-industry-university) menjadi tak
terelakkan. Selain menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi
teknologi, PT menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri. PT
juga dapat melakukan kegiatan litbang yang memberi manfaat bagi perkembangan
industri dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan
dana untuk menopang kegiatan litbang di universitas. Sangat jelas, dinamika
hubungan segi tiga ini akan memberi sumbangan besar pada peningkatan
produktivitas nasional.
Dalam konteks demikian, dukungan finansial pemerintah amat vital guna
mengembangkan PT menjadi institusi yang kuat. Ada empat pertimbangan sosial
ekonomi yang penting dicatat.
Pertama, investasi untuk pendidikan tinggi akan melahirkan manfaat
eksternal jangka panjang yang menjadi faktor krusial pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada ilmu pengetahuan. Kedua, investasi untuk pendidikan tinggi
memberi manfaat sosial politik karena akan melahirkan lapisan masyarakat
terpelajar, yang dapat memperkuat kohesi sosial dan memantapkan dasar-dasar
demokrasi. Ketiga, pendidikan tinggi memainkan peran kunci dalam menopang
pendidikan dasar dan menengah, sekaligus menyokong economic externalities kedua
jenjang pendidikan itu. Keempat, pengembangan teknologi dan kegiatan penelitian
dasar dan terapan oleh PT akan membawa keuntungan jangka panjang guna mencapai
keunggulan bangsa.
Karena itu, tugas utama pemerintah adalah mengembangkan PT bermutu dan
unggul sehingga mampu memasok tenaga-tenaga ahli yang diperlukan di berbagai
bidang kehidupan. Untuk itu, investasi dalam pengembangan PT harus difokuskan

1. pada pembangunan sarana-prasarana dan penyediaan fasilitas pendidikan: laboratorium (peralatan) dan perpustakaan (buku, jurnal);
2. penguatanstruktur kelembagaan termasuk penataan institusi litbang;
3. peningkatankualitas program akademik;
4. peningkatan mutu akademisi (dosen, peneliti);
5. pemantapan landasan keilmuan; dan
6. pengembangan kerja sama PT dengan

dunia industri.
Keenam hal itu penting diperhatikan agar para akademisi dapat lebih
optimal mengemban tugas-tugas akademik, mendalami bidang keilmuan yang menjadi
minatnya, dan melakukan riset-riset ilmiah yang berorientasi pengembangan
iptek. Tanpa dukungan fasilitas memadai, mereka akan tergoda untuk berdiaspora
ke negara-negara maju, baik di Asia, Australia, Eropa, maupun Amerika. Sebab,
di negara-negara itu mereka menemukan lingkungan akademik yang kondusif guna
menekuni profesi sebagai akademisi dan peneliti.
Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology,
University of Sussex, United Kingdom
Aam Sumber (www.kompas.com)

Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.

Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.

Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.
Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.

Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.

Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.

Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.

Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.

Sumber: Harian SIB

Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi Tiongkok terbagi dalam program sarjana muda, sarjana, S2 dan S3. Jenis universitas dan perguruan tinggi Tiongkok meliputi univeritas dan perguruan tinggi biasa, perguruan tinggi profesional,Universitas radio dan televesi, dan perguruan tinggi orang dewasa.

Pendidikan tinggi Tiongkok sudah bersejarah 100 tahun lebih. Menurut statistik terbaru, dewasa ini di Tiongkok terdapat 3000 perguruan tinggi, diantaranya 2/3 dikelola negara, 1/3 dikelola swasta. Siswa perguruan tinggi tercatat 20 juta orang, tingkat masuk perguruan tinggi dari jumlah penduduk sebaya mencapai 70% ke atas.

Di Tiongkok, masuk perguruan tinggi harus lewat ujian, sekolah menerima siswa berdasarkan keinginan siswa sendiri dan hasil ujian. Persoalan ujian masuk sekolah dan angka penerimaannya ditetapkan secara tunggal oleh Kementerian Pendidikan atau Lembaga Pendidikan di berbagai propinsi.

Pendidikan tinggi Tiongkok terutama diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri, universitas yang terkenal di Tiongkok semua diselenggarakan negara, biasanya mereka yang gagal masuk perguruan tinggi negeri, berkuliah dinas baru memilih masuk perguruan tinggi swasta atau universitas radio dan televesi , atau perguruan tinggi orang dewasa.

Selama dua tahun ini, lembaga pendidikan Tiongkok berupaya mengembangkan pendidikan tinggi, secara besar-besaran memperluas skala penerimaan siswa untuk perguruan tinggi negeri, pendidikan sarjana dua juga mencapai perkembangan besar.

Pendidikan jangka pendek, jangka panjang atau pendidikan tinggi khusus ?

Pendidikan tinggi jangka pendek

Jenjang pendidikan ini diselenggarakan dalam dua atau tiga tahun perkuliahan. Program pendidikannya meliputi bidang bisnis, industri atau jasa.
Program ini biasanya diselenggarakan oleh beberapa institut yang terdapat di beberapa universitas (Les Instituts Universitaires de Technologie – IUT/ Institut Universitas Teknologi) atau di beberapa sekolah tinggi khusus.
Perkuliahan mencakup juga magang di beberapa perusahaan yang menawarkan perspektif sesunguhnya dunia kerja. Biasanya seleksinya sangat selektif.
Di antara pendidikan jangka pendek yang ditawarkan di Prancis, Program Teknik Tingkat Tinggi juga layak untuk mendapat perhatian. Program-program ini merupakan kelas lanjutan di sekolah menengah atas yang menawarkan ijazah Brevet de Technicien Supérieur (BTS)/ Brevet Teknik Tingkat Tinggi dengan 100 bidang keahlian berbeda. BTS merupakan salah satu jalan untuk dapat terjun langsung di dunia kerja.


Pendidikan tinggi jangka panjang

Jenjang pendidikan tinggi ini ditawarkan oleh universitas atau Grandes Écoles yang penyelenggaraannya berbeda-beda sesuai dengan jenis perguruan tingginya.
Di Universitas ... jenjang perkuliahan dibagi menjadi tiga tingkatan
Licence (Sarjana) : (3 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS
Master : ((5 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 4 semester dengan beban kredit 120 kredit ECTS. Terdapat dua jalur master : Master « Recherche »/ « Penelitian » (dahulu DEA) yang biasanya dilanjutkan ke jenjang Doctorat, dan Master « Professionnel »/ « Profesional » yang memudahkan untuk masuk ke dunia kerja.
Sesuai dengan program pendidikannya, mahasiswa asing dapat mendaftar langsung di jenjang Master untuk mendalami keahliannya selama satu atau dua tahun.
Doctorat (Doktor) : (8 tahun kuliah selepas SMA) ditempuh dalam waktu 6 semester dengan beban kredit 180 kredit ECTS.

Di beberapa Grandes Écoles ... jenjang pendidikan tinggi jangka panjang di lembaga ini dan di beberapa sekolah tinggi khusus dilakukan dalam waktu 5 tahun termasuk dua tahun mengikuti kelas persiapan di lembaga yang bersangkutan, atau di lembaga pendidikan tinggi lain.
Classes préparatoires, kelas persiapan atau yang disingkat "prépa" ini memungkinkan mahasiswa untuk mengikuti sejumlah tes masuk di grandes écoles yang sangat selektif. Setelah menempuh lima tahun masa kuliah di sini, mahasiswa akan mendapatkan gelar Master.