jam

Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan Layanan KhususBetapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.

UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.

Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.

Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

sumber:
http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?

Pendidikan Layanan Khusus bagi Anak Pinggiran Jakarta

Wajah suka cita terpancar dari anak-anak, penduduk, dan pejabat daerah setempat ketika tiga iring-iringan mobil dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, singgah di Desa Sukadamai, Jonggol. Letak desa yang hanya "sepelemparan batu" dari Jakarta itu ternyata nyaris belum terlayani pendidikan secara baik.

Bocah belia di desa itu bersyukur karena bakal diresmikannya Sekolah Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Cita Madani untuk anak daerah terpencil setingkat SD hingga SMA, di Kampung Lereng Gunung Siem RT 01/01, Desa Sukadamai, Kecamatan Suka Makmur, Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/11), yang puluhan tahun mereka idamkan.

Setibanya di sana, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, didampingi beberapa pejabat setempat beramah tamah sekaligus meresmikan Sekolah PLK Cita Madani yang dipimpin oleh Ahmad Zayyadi.

Tak disangka-sangka, Kecamatan Suka Makmur merupakan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah ke 40 dari 40 kecamatan di wilayah Jonggol, sementara sekolah SD dan SMP terdekat berjarak 10 kilometer dari desa Sukadamai. Mayoritas anak-anak di sana tidak pernah sekolah. Kalau pun mereka sekolah, baru bersekolah kelas 1 SD umur 10 tahun, dan kelas 3-4 sudah putus sekolah.

"Jika ada masyarakat atau lembaga yang ingin memberdayakan anak-anak untuk berpartisipasi melalui jalur pendidikan, kami patut berterima kasih, terutama kepada PLK Cita Madani. Setidaknya akan membantu meningkatkan IPM desa tersebut," tutur Ekodjatmiko.

Dalam kesempatan itu, pimpinan Cita Madani Ahmad Zayyadi mengatarkan bahwa anak-anak walaupun masih sibuk membantu orang tuanya di sawah atau di ladang serta berdagang, mereka masih bisa sekolah lewat program Direktorat PSLB Ditjen Mandikdasmen Depdiknas.

"Melalui program Depdiknas, yaitu sekolah PLK, maka anak-anak di sini akan memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikannya. Program Sekolah PLK ini merupakan terobosan yang luar biasa dari Direktorat PSLB," kata Zayyadi yang disambut tepuk tangan dari anak-anak, orangtua murid, serta pejabat daerah se- tempat.

Zayyadi memaparkan, pihaknya telah mempersiapkan lahan beberapa hektare untuk pembangunan sekolah PLK di Desa Sukadamai. Untuk mempercepat program itu, pihak Direktorat PSLB tahun 2007 telah membantu anggaran sebanyak Rp 55 juta untuk operasional dan penyelenggaraan PLK di sana. Kemudian ditambah Rp 15 juta untuk sarana pendukung lainnya.

Ekodjatmiko mengatakan, para penerima block grand dari pemerintah ini bukan hanya sebagai pengelola dan tenaga tutor, tapi memiliki amanat. Pasalnya, Cita Madani mesti berjuang untuk menaikkan derajat anak-anak di wilayah yang masih terbelakang. Tak lama lagi sekolah PLK seperti itu akan menjadi contoh sekolah PLK di wilayah lain yang memerlukan pendidikan, terutama pendidikan residual atau yang tidak terjangkau pendidikan formal.

Ekodjatmiko menuturkan, pendidikan memang menjadi hal yang penting bagi anak-anak di wilayah seperti ini, selain akan meningkatkan IPM pada wilayah tersebut, akan pula terjamin masa depan anak-anak lulus hingga pendidikan 12 tahun. "Terjaminnya kesejahteraan anak-anak dan masyarakat kelak hanya lewat pendidikan yang sesuai dengan standar dan kebutuhan di wilayah itu," katanya.

Peresmian disaksikan kepala Desa Sukadamai, perwakilan kecamatan Suka Makmur, perwakilan perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadyah Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. Desa ini juga masih kekurangan tenaga pengajar. Guna menjawab persoalan itu, pihak PSLB meminta perguruan tinggi untuk menyediakan dan menyiapkan tenaga tutor mahasiswa lewat program kuliah kerja nyata (KKN).

Sumber: Suara Pembaruan, 11 Des 2007

http://www.ypha.or.id/information

KOMPETENSI TUTOR TERBATAS, PENDIDIKAN INFORMAL ALTERNATIF TERAKHIR

Menurut Erman pada “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF” di Gedung Gerai Informasi Depdiknas Jakarta, Rabu (5/7) selain itu pamong belajar, penilik, TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), pendidik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), instruktur kursus dan pengelola satuan Pendidik PNF masih dihadapkan pada persoalan-persoalan intensif, daya saing dan kepemimpinan.

Diperlukan upaya strategis, sistematik dan berkelanjutan dalam pembangunan mutu pendidikan khususnya pendidikan non formal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, katanya.

"PNF idealnya tidak lagi minim sentuhan, dalam konteks peningkatan mutu maka pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk terlibat dalam memberikan saran maupun kritik terhadap mutu penyelenggaraan pendidikan itu, terutama menyangkut mutu PTK- PNF," katanya.

Relevansi dengan semangat keterbukaan dan untuk mewujudkan kualitas PNF, pemerintah menurut dia memandang perlu menyebar-luaskan informasi tentang PNF dan secara khusus mutu PTK-PNF. Salah satu elemen yang dapat menjadi mitra kerjasama strategis dalam penyebarluasan informasi tentang mutu pendidik dan tenaga kependidikan PNF adalah wartawan, katanya.

Pertimbangan tersebut relevan mengingat keberadaan wartawan merupakan kekuatan pembentuk opini yang sangat signifikan pada era informasi dewasa ini. Salah satu bentuk kegiatan yang akan diselenggarakan dalam rangka kerjasama strategis adalah “Apresiasi Wartawan Peduli PTK-PNF”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu saling pengertian dan kesepahaman antara Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK dengan wartawan tentang perlunya dukungan media massa terhadap strategi, program, dan kegiatan Dit. PTK-PNF.

Juga memberikan apresiasi secara selektif kepada wartawan Koran nasional maupun daerah yang telah menulis tentang PTK-PNF dan meningkatkan efektifitas sosialisasi strategi, program dan kegiatan Dit. PTK-PNF Ditjen PMPTK kepada masyarakat luas yang membutuhkan sehingga terbangun partisipasi dan dukungan dari masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Kegiatan ini berkesesuaian dengan upaya pemerintah dalam menata kebijakannya dalam tema-tema sbb:perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Depdiknas mempunyai perhatian sangat besar terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia baik mutu pendidikan formal persekolahan maupun pendidikan non formal yang dikenal dengan pendidikan Kesetaraan Paket A/B/C Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus dan Pelatihan, kata Erman. (T.Ad/id) (red)


sumber: http://www.jugaguru.com

PELAJARAN KOMPUTER UNTUK SISWA TUNANETRA

PELAJARAN KOMPUTER UNTUK SISWA SLBA PTN JAKARTA

Di era globalisasi peran Teknologi informasi dan komunikasi (ICT)
sangat lah dominan. Sehingga semua kebutuhan manusia tak bisa lepas dari peran
teknologi tersebut. Sebagai contoh dunia perdagangan telah lebih dahulu
memanfaatkan teknologi dengan sebutan e-commerce, di dunia komunikasi dengan
e-mail dan lain sebagainya. Dengan demikian tantangan hidup bagi SDM
semakin dituntut untuk mengikuti perkembangan Teknologi.

Adalah dunia pendidikan untuk Tunanetra yang selama ini
dikenal dengan Sekolah Luar Biasa. Apakah mungkin pada siswa siswa yang memiliki
hambatan penglihatan dari low Vision (lemah penglihatan) sampai yang buta total
(totally blind) dapat mengakses perkembangan teknolgi tersebut?


Anak Di SLB A Pembina Tingkat Nasional Jakarta, memberikan
pelajaran Komputer kepada siswa-siswa semenjak dari jenjang SD sampai SMA.
Pelajaran tersebut masuk dalam pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (
TIK ). Walaupun dalam kurikulum nasional tidak disebutkan sebagai pelajaran inti,
namun Pelajaran Komputer ( TIK ) dimasukkan sebagai materi pengembangan diri.

Pelajaran Komputer bagi siswa tunanetra dimulai dari
jenjang SD dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan ketrampilan kepada
siswa, dimana apabila siswa akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi terutama di sekolah-sekolah reguler (inklusif) maka siswa tunanetra
tidak mengalami hambatan yang berarti. Dengan telah mengenal dan memiliki
ketrampilan mengoperasikan komputer maka diharapkan dapat mengikuti pelajaran
TIK yang telah menjadi pelajaran wajib di jenjang sekolah menengah. Di samping
itu siswa dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mengerjakan tugas-tugas dan
mengorganisir file-file personalnya untuk membantu kepentingannya sendiri.

Minim, sekolah untuk anak autis Posted in Press Prewiew | February 27th, 2009 BANDUNG, (PR).- Sangat sedikit sekolah re-guler formal yang dapat me-n

BANDUNG, (PR).-
Sangat sedikit sekolah re-guler formal yang dapat me-nerima kehadiran anak
autis. Apalagi jika sekolah dimaksud adalah sekolah favorit. Tidak akan
pernah ada anak autis yang bersekolah di se-kolah favorit. Kecuali ingin
tetap mempertahankan image, sekolah favorit takut dianggap turun
kualitasnya bila menerima anak autis.

Demikian Penanggung Ja-wab Sekolah Anak Berkebu-tuhan Khusus AGCA Center
Dr. dr. Y. Handojo, M.P.H. pada workshop sehari “Metode ABA bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah dengan sistem inklusi”, di Pusdai,
Jln. Diponegoro, Sabtu (3/3). Selain Handojo, hadir pula Kepala Sekolah
Inklusi Mutiara Bunda, Novita Ekawati, S.Psi.

Padahal kata Handojo, prevalensi autis di Indonesia meningkat setiap
tahun. Pe-ningkatan tersebut dapat mencapai 10 kali lipat. Pene-litian
tahun 1994 menyebutkan, penderita autis ma-sih satu berbanding 2.500,
tahun 2004 satu berbanding 250, tahun 2006 satu ber-banding 160, dan
penelitian terakhir tahun 2007 menyebutkan, 1 berbanding 96. Artinya,
setiap kelahiran 96 orang bayi, satu di antaranya menderita autis.

Sementara di sisi lain, kata dia, tidak banyak masyarakat yang
menyelenggarakan pu-sat pendidikan ataupun terapis untuk anak autis.
Perhatian pemerintah terhadap anak berkebutuhan khusus ini pun masih
minim. “Aki-batnya, sangat banyak penderita autis yang belum terlayani
pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak semua warga,” demikian Handojo.

Handojo menyebutkan, 35% penderita autis sebenarnya memiliki IQ normal ke
atas dan 65% di bawah normal. Bahkan, sejak dulu sebelum ada konsep
sekolah inklusi, masyarakat tanpa sadar sudah berdampingan bersama
anak-anak berkebutuhan khusus ini. Terbukti, laporan dari Jakarta
menyebutkan, dalam sebuah kelas terdapat 1 dari 25 orang anak mengalami
kelainan perilaku.

“Jadi sebenarnya, kita su-dah sejak lama hidup bersa-ma anak-anak seperti
ini. Hanya, dulu ditafsirkannya sebagai anak nakal. Padahal mungkin anak
tersebut termasuk anak hiperaktif yang sebenarnya memerlukan penanganan
tidak sekadar sebagai anak nakal,” pa-parnya.

Handojo berharap, pemerintah dapat lebih memerhatikan anak berkebutuhan
khusus. Apalagi, jika dilihat dari prevalensinya yang me-ningkat setiap
tahun. “Kalau tidak, apalagi sekolah-sekolah reguler tetap menolak,
kebutuhan pendidikan dan penanganan anak autis tidak akan terlayani,”
imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Se-kolah Inklusi Mutiara Bunda, Novita Ekawati
memapar-kan, memang tidak mudah menyelenggarakan pendidik-an untuk anak
berkebutuhan khusus seperti ini. Namun begitu, bukan berarti anak-anak
tersebut kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan.

Dari pengalaman Novi mengembangkan lembaga pendidikan seperti itu, ba-nyak
faktor yang mempersulit masyarakat dapat me-nyelenggarakan pendidikan yang
dibutuhkan. Sama halnya lembaga pendidikan lain, faktor guru, sarana,
ketersediaan SDM pendukung, maupun kurikulum, menjadi persoalan penting
yang dihadapi sebuah inklusi.

Pendek kata, kata dia, daripada susah-susah mencari jalan keluar dari
semua kesu-litan tersebut, biasanya sekolah menyatakan diri bahwa
lembaganya bukan sekolah inklusi. “Untuk gurunya saja, diperlukan guru
yang ekstra perhatian dan empati terha-dap anak. Kalau tidak, sudah pasti
tidak mau susah-su-sah,” ujarnya.

Prinsip dasar paling awal yang harus menjadi pijakan penyelenggara sekolah
inklu-si, kata dia, pemahaman bah-wa input siswa sangat bera-gam.
Nantinya, dengan pe-mahaman seperti itu, semua proses kegiatan belajar pun
lebih berorientasi pada pe-mahaman tersebut.

Contohnya dalam hal kuri-kulum. Kurikulum yang di-gunakan sebuah sekolah
in-klusi, kata Novi, tetap meng-acu dan menggunakan kuri-kulum nasional.
Namun ka-rena input siswa yang bera-gam, kurikulum nasional yang digunakan
mengalami modifikasi atau diadaptasi sesuai kebutuhan siswa. Setelah
mengalami identifikasi dan assessment bagi siswa yang mampu mengikuti
kompetensi yang ditargetkan kurikulum nasional, siswa tersebut menggunakan
program reguler (umum).

Sedangkan bagi siswa yang berkebutuhan khusus, prog-ram yang digunakan
dise-suaikan dengan kemampu-annya yaitu menggunakan program khusus maupun
program individu. “Maka-nya, dalam proses kegiatan belajar-mengajar
sekolah in-klusi, siswa bukan hanya di-dampingi guru tetapi juga seorang
guru pendamping (helper). “Contohnya di Mu-tiara Bunda, setiap kelas
me-miliki dua tenaga pengajar yaitu guru kelas dan guru asisten.

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jumat, 27 Februari 2009
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.

Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.

Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren.

Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam.

Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.

Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi

PENDIDIKAN AGAMA, TEORI DI JALUR FORMAL, PRAKTIKNYA DI INFORMAL

Selama ini umat selalu berharap banyak pada pendidikan agama secara formal. Lewat pendidikan formal, memang secara teori anak-anak hafal dan paham akan ajaran agama. Tapi, bagaimana ajaran agama itu mampu tercermin lewat perilaku sehari-hari, tampaknya perlu diimbangi dengan praktik agama. Karena itu, memberikan pendidikan agama lewat jalur non-formal tampaknya perlu ditingkatkan. Dengan demikian, anak-anak Hindu tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga betuk-betul bermoral sesuai dengan ''tuntutan'' ajaran agama. Lalu, lewat kegiatan model apa pendidikan agama nonformal itu efektif dilakukan?


============================================================
Praktisi pendidikan yang guru besar Unhi Prof. Dr. IB Yudha Triguna mengatakan, pendidikan agama Hindu tidak mesti selalu dilakukan melalui mekanisme formal. Pendidikan agama lewat jalur formal, umumnya lebih bersifat kognitif dan pembobotan hafalan.

''Bisa jadi cara seperti ini membuat generasi muda Hindu hanya pintar menghafal dan berdebat mengenai teori agama, tanpa mempraktikkannya, karena bagi mereka definisi agama adalah suatu ajaran yang harus diketahui dan dihafal,'' ujarnya.

Sikap formalistik seperti itu, tegas Direktur Pasca Sarjana Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi, sesungguhnya dapat menimbulkan kekakuan sosial dan sekat-sekat sosial, sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah umat manusia-- terutama mereka yang lebih mengutamakan hafalan ajaran ketimbang praktik atau perilaku beragama.

Oleh karena itu, model pendidikan formal harus diikuti atau diimbangi dengan praktik, karena perilaku beragama itu menuntut praktik atau disiplin yang betul-betul mencerminkan ajaran agama. Misalnya, umat sangat baik jika hafal tentang berbagai sloka mengenai ahimsa. Tetapi akan lebih bagus jika mereka tidak melontarkan kata-kata menghujat yang membuat orang lain tersinggung, sakit hati, apalagi sampai melakukan pembunuhan terhadap sesama.

Untuk sampai pada tindakan praksis seperti itu maka pendidikan agama Hindu mesti lebih banyak memberi ruang pada tindakan yang mempraktikkan langsung ajaran-ajaran agama. Praktik seperti itu dapat diwujudkan dalam tradisi nyastra, megeguritan atau magegitan. ''Tradisi nyastra itu diharapkan dapat penghalusan budi generasi muda Hindu,'' katanya. Dalam konteks pendidikan non-formal seperti ini, kata IB Yudha Triguna, anak-anak akan memperoleh ''bekal'' yang cukup tentang agama. Artinya, anak-anak tak hanya pintar menghafal tetapi langsung bisa menunjukkan nilai-nilai agama lewat sikap dan perilakunya sehari-hari.

Dalam memberikan pencerahan agama kepada umat, selain tradisi nyastra sangat efektif dilakukan lewat dharma wecana. ''Jadi sangat bagus diperbanyak kegiatan dharma wecana. Dengan cara seperti ini umat selalu diingatkan tetap pada rel atau kaidah agama,'' katanya.

Perlu lebih banyak pendharma wecana yang berfungsi untuk mengingatkan umat akan nilai-nilai atau ajaran agama. Hal ini hendaknya dilakukan secara terus-menerus, kendati memperoleh tantangan, terutama dari kelompok yang pragmatis dan rasional.

''Dharma wecana yang dilakukan oleh tokoh agama dan sulinggih cukup efektif untuk meningkatkan pemahaman umat terhadap ajaran agama, seperti apa yang dilakukan Ida Penanda Gunung. Karena itu, perlu ada Ida Pedanda Gunung-Ida Pedanda Gunung yang lain,'' ujarnya.

Kegiatan dharma wacana terbukti efektik memberi pencerahan kepada umat. Dengan membahasakan ajaran agama dengan baik dan tidak terlalu berat, justru akan mudah diterima oleh umat. ''Sepertinya membahasakan agama tidak perlu susah-susah. Cukup dengan bahasa yang mudah dimengerti,'' kata dia.

Selain dharma wecana, pendidikan agama juga efektif dilakukan melalui pengashraman. Terutama anak-anak sekolah, sangat baik diberikan tambahan pendidikan agama lewat pengashraman kilat setiap libur sekolah. ''Dalam kegiatan ini anak-anak selain diberikan tatwa agama juga praktik agama,'' katanya.

Berbagai bentuk pengasharaman telah banyak dilakukan selama ini seperti yang pernah dilakukan Yayasan Swadharma Indonesia di Pura Jagatnatha yang terkenal dengan pengashraman minggu. Tapi belakangan, kegiatan ini kurang terdengar. Padahal kegiatan itu cukup efektif membekali anak-anak tentang tatwa dan praktik membuat alat-alat upakara. Kakanwil Agama Propinsi Bali Gusti Made Ngurah mengatakan, pendidikan agama lewat jalur formal--karena keterbatasan waktu-- lebih banyak difokuskan pada teori agama. Padahal sesungguhnya ajaran agama itu tidak cukup hanya dihafal, tapi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Praktik agama sesungguhnya bisa didapat di lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan informal seperti kegiatan pengashraman. Namun, kegiatan itu mesti kontinyu, berkelanjutan dan permanen.

Dikatakannya, lingkungan keluarga sesungguhnya memiliki andil besar dalam memberikan praktik agama kepada anak-anak. Kesempatan menularkan praktik agama kepada anak-anak dirasa masih kurang. Karenanya perlu ditingkatkan, sehingga anak-anak sebagai generasi muda Hindu paham tatwa dan sekaligus mampu mengimplementasikannya. ''Orangtua mesti menyempatkan diri untuk ikut membantu anak-anak memberikan pendidikan agama di rumah,'' katanya.

Demikian pula lingkungan masyarakat juga melakukan hal yang sama. Jika selama ini banyak muncul kegiatan seni budaya di masyarakat, ke depan hendaknya diimbangi dengan kegiatan praktik agama. Bentuknya bisa berupa kursus-kursus atau pengashraman kilat. Ia mengatakan, jika di agama lain ada pondok-pondok pesantren, di Hindu mesti dibangkitkan kegiatan ashram-ashram.

Dikatakannya, akan sangat keliru ajaran agama itu hanya cukup dihafal, tanpa pengamalan. Tak hanya paham teori, juga perlu pengamalan atau praktik ajaran agama.

Justru dalam pengashraman kilat anak-anak mendapatkan lebih banyak praktik agama. Sementara di sekolah mereka lebih banyak mendapat teori agama. Agar ada keseimbangan antara keduanya, kegiatan praktik agama sudah tepat dikembangkan di desa-desa pekraman seperti yang dilakukan Yayasan Widya Wedhi Sabha di bawah asuhan Ketut Cekeg.

Pesraman kilat (enam bulan) dilakukan berpindah-pindah dari desa adat yang satu ke desa adat yang lain. Kegiatan yang berlangsung setiap hari Minggu itu bekerja sama dengan desa adat. Model ini dinilai cukup efektif untuk memberikan bekal agama kepada anak-anak Hindu, khususnya dalam hal praktik agama. Di sinilah perlu kesungguhan dan kerja sama semua komponen, sehingga kegiatan semacam ini dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Sistem pendidikan model peshraman, kata Gusti Ngurah, bisa dibuat secara terstruktur. Di situ ada misi dan visi, kurikulum, para instruktur dan sisya (murid). Untuk bisa beroperasi secara kontinyu tentu perlu dukungan semua pihak. Dikatakannya, orangtua hendaknya merangsang anak untuk tertarik belajar agama--khususnya praktik agama. Anak-anak mesti paham dan bisa mewariskan praktik agama, sehingga pada saatnya menjadi orangtua nanti, mereka tidak kelabakan. ''Mereka mesti dirangsang apa yang mesti mereka pelajari,'' ujarnya.

Soal dharma wecana, Gusti Made Ngurah mengatakan, kegiatan itu cukup efektif dalam memberi pencerahan kepada umat. Hal itu akan efektif manakala isi dharma wecana dirangkaikan dengan acara pokok. Misalnya dalam kegiatan odalan atau upacara ngenteg linggih, pendharma wecana tentu sangat tepat menguraikan makna upacara itu. Dengan demikian pencerahan itu akan cepat tercerna karena umat berkonsentrasi soal odalan atau ngenteg linggih yang dilaksanakan. Dharma wecana akan sangat menarik manakala diformat atau dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti dan diselingi dengan humor. (lun)


sumber: BaliPost

Rendah, Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Semarang, CyberNews. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Jateng diakui Kasubdin Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas P dan K Jateng Drs Sutikno MSi masih sangat memprihatinkan.
''Kondisi ini bisa dilihat dari masih rendahnya angka partisipasi kasar (APK) siswa SLB yang hanya 4 %. Disamping itu, kurikulum ada yang masih terlalu luas sehingga belum menitikberatkan pada ketajaman materi, dan faktor yang lain,'' katanya seusai membuka ''Rapat Koordinasi Sosialisasi Program PLB dan Kurikulum Pendidikan Khusus'' di LPMP Jateng, Senin (27/3) malam.
Berdasarkan data dari Dinas P dan K Jateng, anak berkebutuhan khusus (luar biasa) yang terlayani pendidikan baru mencapai 7.899 siswa atau 4 %. Sementara sisanya sebesar 96 % merupakan anak tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan sejumlah kondisi fisik lain belum terlayani.
Rendahnya APK siswa SLB yang belajar pada jenjang pendidikan dasar menjadi perhatian serius Dinas P dan K Jateng. Pasalnya pemprov mentargetkan pada 2007 program penuntasan wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar (wajar dikdas) di Jateng sudah tuntas paripurna dengan APK mencapai 95,00 %.
Dalam kegiatan yang diikuti 115 orang yang berasal dari unsur Kasi PLB kabupaten/kota se-Jateng, guru SDLB dan unsur lain di PLB itu, Sutikno membeberkan, guna mencapai target penuntasan wajar dikdas bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan dengan meningkatkan daya tampung, pembangunan unit gedung baru (UGB), ruang kelas baru (RKB), dan melaksanakan program sekolah inklusi.
Program Inklusi
Sekolah inklusi, jelasnya, merupakan program pendidikan yang diberikan bagi anak berkebutuhan khusus, misalnya, tunanetra bisa masuk sekolah reguler seperti anak umumnya.
Pengembangan sekolah inklusi dilakukan dengan penyediaan pedoman pendidikan inklusi, diklat guru kelas dan guru pembimbing pendidikan inklusi, serta bantuan subsidi operasional pendidikan.
''Selain itu, meningkatkan mutu pendidikan dan pendidikan layanan khusus untuk semua jenis dan jenjang pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung kelangsungan penyelenggaraan pendidikan,'' imbuhnya.
Sampai sekarang, jumlah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus di Jateng baru mencapai 127 sekolah yang terdiri atas SDLB negeri 26 buah, SLB negeri 4 sekolah, dan SLB swasta 97 sekolah. Sekolah tersebut digunakan untuk proses pembelajaran 7.899 siswa. Di samping itu, masih ada sekolah rintisan terpadu yang jumlahnya mencapai 69 sekolah untuk 975 siswa.

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sekolah-ku, Khusus Anak Penderita Kanker

JAKARTA, SABTU - Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tak terkecuali untuk mereka yang mesti meninggalkan bangku sekolah karena harus berobat di rumah sakit. Karena itu demi melengkapi Rumah Kita, persinggahan anak penderita kanker yang sedang berobat, Sekolah-ku, sekolah khusus yang diselenggarakan di rumah sakit bagi anak-anak penderita kanker yang tengah berobat juga didirikan.

"Yayasan Kanker Anak Indonesia ( YKAKI), bekerja sama dengan para dokter dan perawat dari RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais membuat sekolah, agar anak-anak yang sedang menjalani pengobatan tetap mempunyai kegiatan dan tidak tertinggal dalam pelajaran", jelas Aniza M. Santosa, bendahara YKAKI, di Jakarta Sabtu (20/2).

YKAI bekerja sama dengan Home Schooling Kak Seto sebagai konsultan serta berbagai pihak antara lain PT Gramedia serta para donatur lainnya telah berhasil memfasilitasi tiga rumah sakit di Jakarta antara lain RSUP Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais dan RS Fatmawati. Tenaga-tenaga pengajar profesional telah direkrut secara tetap guna memfasilitasi program pendidikan di rumah sakit ini secara konsisten dan teratur.

"Sekolah-ku ini adalah wujud dari impian saya, bahwa walaupun anak sedang dalam pengobatan di rumah sakit, tetapi mereka tetap berhak untuk bermain dan belajar," kata Ira Soelistyo, salah satu pendiri sekaligus Sekretaris YKAKI, yang memiliki pengalaman putranya saat perawatan di luar negeri tetap bersekolah semasa tinggal di rumah sakit.

"Tenaga pengajar di sekolahku terdiri dari tujuh orang tutor, tiga orang tutor adalah sarjana psikologi dan empat orang adalah sarjana pendidikan," tutur Aniza.

Dido, seoorang tutor di sekolah-ku menjelaskan anak-anak penderita kanker sedikit berbeda dengan anak-anak pada umum. Terkadang mereka sangat lemah ketika habis melakukan pengobatan. "Mood mereka juga kurang stabil karena pengaruh obat," jelas Dido.

Dalam pengajaran, para tutor harus melakukan pendekatan ekstra, agar anak-anak tersebut bersedia belajar. Ketika anak menolak untuk belajar, para tutor akan menanyakan apa keinginan mereka.

Jika sudah mogok belajar, biasanya anak-anak akan diminta untuk mewarnai atau bermain balok. Namun tak jarang para tutor membiarkan dulu sampai anak itu lebih tenang. "Kita diamkan dulu, sambil bilang kalau sudah tenang, kakak ada di ruang sebelah ya...," ucap Dido.

Anak-anak tidak dipaksakan ingin belajar apa, mereka bebas memilih pelajaran dan tutor yang mereka sukai. Karena itu, seorang tutor menangani minimal dua orang anak."Yang satu kita kasih mewarnai dulu, lalu pindah ke pasien lain, terus dicek lagi yang sebelumnya, jadi ya bolak-balik aja," ungkap Dido.

Pengajaran juga bisa berlangsung di bangsal-bangsal rawat inap. Pelajaran yang di Sekolah-ku, layaknya sekolah pada umumnya. Ada pelajaran bahasa, matematika dan sosial. Tutorlah yang memberikan bahan-bahan pelajaran mereka.

Jika tidak sedang mengalami perawatan, sebagian anak bersekolah di sekolah umum. Namun menurut Aniza, karena ketebatasan ekonomi, banyak juga anak-anak yang putus sekolah. "Rata-rata yang ikut dalam sekolah-ku adalah anak dari keluarga yang kurang mampu, banyak juga yang putus sekolah. Kalau di sekolah-ku sama sekali tidak dipungut biaya," jelas Aniza.

Saat ini sekolah-ku mempunyai murid sekitar 60 siswa, mulai dari kelas dua SD, sampai kelas enam. Dalam jangka panjang, Sekolah-ku bertujuan untuk memfasilitas anak-anak agar dapat mengikuti ujian akhir ataupun ujian sekolahnya meski masih dalam perawatan di rumah sakit dengan izin dari sekolah serta Departemen Pendidikan Nasional atau badan terkait."Pihak kami juga sedang mengupayakan anak-anak Sekolah-ku agar dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional," ujar Aniza.

Sekolah kita terdapat di RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais. Jadwal di RSCM, setiap hari Senin dan Kamis, pukul 15.30, RS. Kanker Darmais hari Rabu dan Jumaat pukul 08.30 - 12.00. Di RS. Fatmawati hari Selasa dan Jumat pukul 15.00- 17.30.

Pendidikan Inklusif, Alternatif Pendampingan Anak

YOGYAKARTA, SABTU - Pendidikan inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya.

"Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium kehidupan bagi anak," kata praktisi pendidikan Elga Andriana M.eD dalam seminar Kedudukan Anak dalam Masyarakat, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan masalah.

Cara-cara yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog.

"Tetapi, pemaknaan inklusi masih kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan.

"Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang reflektif," ungkapnya karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang bersifat obyektif atau subyektif.

Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)Magdalena Sitorus, menyatakan bahwa hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil, hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan khusus.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun

Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia. Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan "tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.

Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.

Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar, tetapi telah lebih dulu dibina diPAUD tersebut, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu jalur terselenggaranya PAUD adalah jalur pendidikan nonformal. PAUD jalur pendidikan nonformal adalah pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel sebagai upaya pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilaksanakan melalui Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, dan bentuk lain yang sederajat. Taman Penitipan Anak selanjutnya disingkat TPA adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program kesejahteraan sosial, program pengasuhan anak, dan program pendidikan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun. Bentuk lain yang sederajat dengan TPA dan KB, antara lain Taman Bermain, Taman Balita, dan Taman Pendidikan Anak Sholeh (TAPAS), dan PAUD yang diintegrasikan dengan progam layanan yang telah ada seperti Posyandu, dan Bina Keluarga Balita.

Penyelenggaraan PAUD nonformal tentu saja mempunyai arti dan manfaat yang tidak sedikit. Suatu konsep pendidikan yang dilaksanakan oleh sebagian besarnya adalah masyarakat dan diperuntukkan bagi anak usia sebelum pendidikan dasar, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Oleh karena itu usaha untuk mendorong bentuk-bentuk PAUD non formal harus terus menjadi perhatian kita semua, khususnya pemerintah. Penyaluran dana pendidikan yang terus bergerak naik di APBN, harus pula menyentuh PAUD nonformal ini. Meski kegiatan ini telah ada sekian lama, namun tetap harus mendapat perhatian serius sehingga semakin berkembang. Untuk lebih menggairahkan tumbuh berkembangnya PAUD nonformal ini, akan lebih baik jika pengangkatan guru PAUD lebih ditingkatkan. Selama ini, pengelolaan PAUD nonformal masih kurang profesional, terutama pada pembina atau gurunya, sehingga sangat dibutuhkan guru yang mempunyai kompetensi dan sertifikasi sebagai guru PAUD nonformal. Demikian pula terhadap kepedulian masyarakat terhadap keberadaan PAUD nonformal, harus mendapat dukungan yang tinggi dari pemerintah. Keterbatasan pemerintah dalam mengadakan PAUD formal semacam Taman Kanak-kanak dan Raodatul Atfal, tentu sangat terbantu dengan adanya PAUD nonformal. Selain itu, sosialisasi tentang PAUD non formal harus terus digiatkan sehingga masyarakat Indonesia tidak awam dengan hal tersebut.

Konsep manfaat PAUD diberdayakan tak lain adalah semakin siapnya anak-anak kita memasuki jenjang pendidikan dasar (sekolah dasar). Selama ini, sangat terasa anak-anak yang masuk SD tanpa melalui PAUD dalam hal ini Taman Kanak-kanak (TK), pada umumnya tertinggal prestasinya. Meskipun demikian, hampir tak ada grafik naik masyarakat untuk terlebih dahulu memasukkan anaknya ke TK. Hal inilah yang menjadikan PAUD nonformal menjadi urgen. Taman Kanak-kanak dan Raudathul Atfal sebagai bentuk PAUD formal masih sangat kurang, sehingga sebagian masyarakat tidak memasukkan anaknya di TK atau RA, sebagian masyarakat lainnya menginginkan anaknya untuk dibina pada suatu "institusi pendidikan" yang tidak berkesan formal (nonformal) sebelum masuk SD.

Taman Penitipan Anak dan Taman Bermain adalah dua bentuk PAUD non formal yang memang jauh dari nuansa formal. Orangtua dapat lebih kreatif dalam melihat perkembangan anaknya melalui PAUD nonformal, apalagi jika PAUD berbasis keluarga dapat terealisasi dengan baik. Kesan santai dan fleksibel adalah merupakan ciri khusus PAUD nonformal. Meskipun demikian PAUD nonformal tidak sekedar sebagai tempat anak dititip oleh orangtuanya atau tempat bermain anak saja. Perkembangan anak menuju suatu penguasaan ilmu atau keterampilan tetap menjadi tujuan utama, hanya saja "gaya" dalam mencapai hal tersebut, berbeda. Bermain adalah salah satu bentuk kegiatan yang mendominasi PAUD non formal. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh. Pendapat ini kurang begitu tepat dan bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Konsep inilah yang terus dikembangkan sehingga perkembangan jiwa anak semakin baik. Anak tidak menjadi tertekan, penakut, minder, dan jahat. Diharapkan anak akan menjadi kreatif, pemberani, percaya diri, dan rendah hati.

Anak-anak yang telah melalui PAUD termasuk PAUD nonformal tentu mempunyai gairah yang tinggi untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan PAUD nonformal mengisi kekosongan PAUD formal tentu semakin membuka akses bagi masyarakat dalam memasukkan anaknya ke PAUD sebelum ke SD, oleh karena itu akan lebih baik jika pendirian atau pengadaan PAUD Nonformal dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia, jika dapat setiap kelurahan mempunyai PAUD Nonformal. Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang dicanangkan oleh pemerintah akan semakin nyata dapat tercapai berkat dukungan PAUD nonformal. Hal ini dimungkinkan dengan semakin meningkatnya pengenalan terhadap pentingnya pendidikan sejak dini dan semakin luasnya jaringan PAUD dengan adanya PAUD nonformal sebagai bentuk wahana pengenalan pendidikan tersebut kepada masyarakat. Semakin luasnya akses untuk menemukan pendidikan sejak dini dan semakin mengertinya masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tentu merupakan indikator utama atas semakin nyatanya keberhasilan wajar pandas 9 tahun. Tak terlalu berlebihan jika kita memandang PAUD Nonformal adalah merupakan semangat atau spirit terhadap keberhasilan Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun. SEKIAN

PENULIS
GURU SD NEG. 17 PAREPARE

Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.

HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.

Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.

Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.

Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.

Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.

Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.

Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.

Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.

Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.

Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.

Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.

Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.

Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.

Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.

Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.

Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.

Salam Pendidikan!



4. Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun

Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan?

Homeschooling dan Legalitas

Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini.

Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008).

Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling

Keuntungan dan Kerugian

Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka.

Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya

Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum.

Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?� buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal.

Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.Â

Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah.

Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

Pemerintah Daerah Berupaya Maksimal Membantu Pendidikan Keagamaan

Pemerintah daerah akan selalu berupaya maksimal untuk membantu lancarnya pembangunan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di bidang keagamaan, guna mewujudkan Kabupaten Banjar yang Baiman Bauntung dan Batuah. Namun sejauh ini masih terkendala Permendagri nomor 13 tahun 2006, khususnya bantuan yang diberikan kepada sekolah agama swasta.

Hal tersebut dikemukakan Bupati Banjar HG. Khairul Saleh saat menerima kunjungan puluhan orang perwakilan guru-guru agama swasta se-Kabupaten Banjar, Senin (3/12) di runag kerjanya.

Lebih jauh Khairul Saleh menyatakan, salah upaya untuk membantu pendidikan keagamaan tersebut adalah dengan diserahkannya bantuan sebesar sebesar Rp. 3,6 miliyar lebih untuk 1.494 guru TK Alqur’an, 167 guru TK Alqur’an Albanjari, 1.195 guru madrasah diniyah awwaliyah dan 126 guru madrasah diniyah wustho.

Disamping itu bantuan tersebut menurut Khairul Saleh juga diserahkan bantuan untuk 1.435 guru pondok pesantren, 1.583 guru madrasah ibtidayah, tsanawiyah dan aliyah swasta serta bantuan untuk 187 orang penghulu se-Kabupaten Banjar saat menjelang Lebaran 1428 hijriyah beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan adanya keinginan para pelaku pendidikan agama swasta tersebut tentang bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan ujian nasional Khairul Saleh menyatakan, untuk sekolah agama negeri sudah menjadi tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan untuk sekolah agama swasta, akan dianggarkan melalui APBD yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan.

Sementara Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar H. Nabhani Abdullah, mengemukakan saat ini pihaknya masih terkendala untuk membantu Pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun, karena masih banyaknya sekolah swasta yang masih menggunakan kurikulum Pondok Pesantren dan tidak menggunakan kurikulum Depag, sehingga tidak dapat mengikuti ujian nasional.

Menanggapi kendala itu, Wakil Bupati Banjar KH. Muhammad Hatim, Lc yang juga turut menerima kunjungan tersebut mengemukakan, untuk merubah atau mengganti kurikulum Pondok Pesantren menjadi Kurikulum Depag memang tidak mungkin, mengingat siswa yang masuk sekolah di madrasah swasta pada sore hari, biasanya juga masuk sekolah di Sekolah Dasar pada pagi harinya, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Labih jauh Guru Hatim, menjelaskan, setelah meluluskan madrasah swasta biasanya mereka juga meluluskan Sekolah Dasar di kampungnya dan meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi pada Pondok Pesantren di ibu kota kabupaten namun tidak menggunakan kurikulum Depag.
Untuk mengatasi kendala Depag dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun, ia menganjurkan agar para guru-guru pada sekolah swasta, khususnya yang memiliki murid yang tidak berijazah sesuai kurikulum Pemerintah ataupun kurikulum Depag agar menyediakan atau menyelenggarakan kegiatan belajar Paket B dan Paket C guna membantu pemerintah dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun.

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.

SMK Kian Menarik Perhatian

Sekitar 85 persen lulusan SMK diterima di bursa kerja dan 15 persen lainnya melanjutkan ke perguruan tinggi

Depdiknas pada tahun ajaran 2008/2009 bakal menambah kursi untuk peserta didik baru sekitar 300 ribu orang dan 4.000 ruang kelas SMK baru.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) agaknya kian menarik perhatian saja. Bagaimana tidak, tahun 2008 ini, sudah ada lima SMA negeri yang menjelma menjadi SMK negeri. Belum lagi ratusan SMA swasta yang juga memilih bermetamorfosis menjadi SMK swasta. Wajar bila Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun ajaran 2008/2009 bakal menambah kursi untuk peserta didik baru sekitar 300 ribu orang dan 4.000 ruang kelas baru.

Tahun 2007 lalu, penerimaan siswa baru (PSB) hanya 1,2 juta orang, tapi tahun ini ditargetkan menjadi 1,5 juta peserta didik SMK. ''SMK memang sedang didorong untuk menaikkan jumlah siswa,'' ujar Direktur Pembinaan SMK, Depdiknas, Joko Sutrisno, di Gedung Depdiknas, Senin (2/6).

Menurut Joko, lulusan SMK berbeda dengan lulusan SMA. Lulusan SMA dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi untuk menjadi ilmuwan, birokrat, atau teknokrat. Namun demikian, lanjut dia, hanya 30 persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi. ''Dan, 70 persen lainnya yang tidak memiliki bekal keterampilan terjun ke pasar kerja, kebanyakan tanpa ketrampilan yang memadai,'' jelasnya.

Sementara, kata Joko, lulusan SMK dipersiapkan langsung ke industri dengan berbagai bekal ketrampilan kerja. Hasilnya, sekitar 85 persen lulusan SMK diterima di bursa kerja dan 15 persen lainnya melanjutkan ke perguruan tinggi. ''SMK mampu memenuhi kebutuhan industri. Lulusan SMK itu terserap ke lapangan kerja di berbagai bidang, seperti bisnis manajemen, teknologi informasi, teknologi rekayasa, serta pariwisata dan perhotelan,'' cetusnya.

Di DKI Jakarta misalnya, kata Joko, tahun ini menerima 85.551 siswa SMK di negeri dan swasta. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan penerimaan siswa SMA yang jumlahnya di sekolah negeri dan swasta 70.516 orang. ''Di Jakarta, peminat SMK sudah lebih tinggi dibanding SMA, karena SMK disiapkan untuk ke dunia kerja,'' ungkap Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta, Margani M Mustar, beberapa waktu lalu.

Calon siswa SMK yang PSB untuk jurusan tertentu harus memenuhi persyaratan khusus. Misalnya, untuk program keahlian pada kelompok teknologi industri, program keahlian restoran, dan tata busana, disyaratkan calon peserta didik tidak buta warna. Selain itu, calon siswa tidak memiliki kendala fisik untuk mengikuti kegian belajar mengajar sesuai karakteristik program keahlian yang dipilih.

''Persyaratan fisik pada program keahlian ini menyangkut keselamatan. Misalnya kimia analis tidak boleh buta warna, di SMK penerbangan mesin-mesin dengan standar Eropa, sehingga dibutuhkan syarat tinggi badan,'' tegasnya.

Untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan siswa SMK dan untuk memenuhi kebutuhan peralatan di sekolah tersebut, kata Joko, Depdiknas juga menjalin kerja sama dengan Departemen Perindustrian dalam mengupayakan peralatan sekolah secara mandiri di SMK. Salah satu sekolah yang telah berhasil membuat peralatan sendiri adalah SMK Negeri 4, Cilincing, Jakarta Utara. Sekolah tersebut membuat computer numerical control (SNC). ''SMK menjadi basis untuk pertumbuhan manufaktur,'' jaminnya.

Tak hanya itu, untuk meningkatkan citra SMK, Depdiknas juga menggelar Lomba Kompetensi Siswa (LKS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23 hingga 28 Juni 2008 mendatang. Lomba itu juga untuk menyeleksi siswa SMK dalam mengikuti kompetensi SMK setingkat ASEAN di Kuala Lumpur pada Oktober 2008 dan kompetensi SMK di Kanada pada 2009. Sebanyak 45 bidang akan dilombakan, antara lain bidang sekretaris, perkayuan, dan aplikasi elektronik.

Sementara itu, terkait dengan target pemerintah agar perbandingan antara SMK dengan SMA menjadi 50:50 pada 2010 , Joko mengatakan, pihaknya tahun ini menargetkan dapat menjaring 1,5 juta lulusan SMP untuk masuk ke SMK. Pertimbangannya, lulusan SMA yang melanjutkan ke perguruan tinggi tidak lebih dari 30 persen, sedangkan 70 persen lainnya melompat ke pasar kerja dengan kualitas yang rendah. ''SMA akan kita jadikan tempat persemaian keilmuan,'' jelasnya.

Syarat Khusus PSB SMK:
1. Untuk calon siswa semua program keahlian pada kelompok teknologi industri, program keahlian restoran, dan tata busana, tidak buta warna
2. Tidak memiliki kendala fisik untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar sesuai karakteristik program keahlian yang dipilih
3. Untuk calon siswa program keahlian teknik mesin, teknik otomotif, teknik penerbangan, akomodasi perhotelan, restoran, dan usaha jasa pariwisata memiliki tinggi badan minimal pria 158 cm dan wanita 153 cm.

Ikhtisar:
- Tahun 2007 lalu, penerimaan siswa baru (PSB) hanya 1,2 juta orang, tapi tahun ini ditargetkan menjadi 1,5 juta peserta didik SMK.
- Depdiknas pada tahun ajaran 2008/2009 bakal menambah kursi untuk peserta didik baru sekitar 300 ribu orang dan 4.000 ruang kelas SMK baru.

Seluruh Sekolah Menengah di Jakarta Tersambung Internet 2009

JAKARTA--MI: Pemprov DKI menargetkan seluruh sekolah menengah di Jakarta tersambung internet pada 2009.

Target kami pada 2009 adalah semua sekolah tersambung dengan teknologi informasi dan komunikasi dan semua guru bisa membuat bahan ajar multimedia, papar Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Margani Mustar seusai Pencanangan Komunitas Pendidikan Menegah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Provinsi Jakarta di Balaikota, Selasa.

Saat ini seluruh SMA/SMK negeri sudah tersambung dengan internet sedangkan sekolah swasta baru 70 persen.

Untuk sementara, kami akan menumbuhkan kultur multimedia terlebih dahulu, kata Margani.

Dengan menggandeng berbagai pihak, Dinas Dikmenti mengembangkan sistem TIK yang terintegrasi yang bisa dimanfaatkan siswa dalam proses belajar di sekolah.

Pengadaan fasilitas fisik juga menjadi prioritas Dinas Dikmenti di mana kini jumlah komputer yang disalurkan ke sekolah sebanyak lebih dari 10 ribu unit, lebih dari 7 ribu guru telah memiliki laptop serta lebih dari 100 sekolah telah memiliki layanan hot spot.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyebut pencanangan program tersebut penting karena TIK merupakan bagian dari tuntutan perkembangan di masyarakat.

Ini adalah bagian dari tuntutan masyarakat, jadi ini hal positif yang mencerminkan keinginan masyarakat akan kemudahan teknologi, katanya.

Untuk Jakarta, Fauzi menyebut bahwa ketersediaan fasilitas TIK bukan menjadi suatu masalah apalagi setelah DKI mengembangkan sistem jaringan fiber optic.

Dengan adanya fiber optic tadi yang akan dibangun dimana-mana maka perpustakaan bisa terkoneksi ke sekolah, kata Gubernur memberi contoh.

Tujuan jangka panjang dari sistem jaringan itu disebutnya adalah untuk menjadikan sekolah sebagai sumber informasi yang lengkap bagi murid maupun guru. (Ant/OL-02)

Sekolah Unggulan yang Tidak Unggul

Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.
Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka sekolah-sekolah unggulan, misal Sekolah Taruna Nusantara. Sekolah unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri yang kacau balau ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan. Setiap tahun ajaran baru sekolah-sekolah unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul.
Benarkah sekolah-sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul? Sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).
Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.
Konsep Sekolah Unggulan
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).
Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.
Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.
Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.
Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), hh. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
Restrukturisasi Sekolah Unggulan
Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut: pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.
Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macam.
Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.
Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius.
Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh.
Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya.
Oleh: Drs. Nurkolis, MM.