jam

Senin, 16 Maret 2009

PENDIDIKAN AGAMA, TEORI DI JALUR FORMAL, PRAKTIKNYA DI INFORMAL

Selama ini umat selalu berharap banyak pada pendidikan agama secara formal. Lewat pendidikan formal, memang secara teori anak-anak hafal dan paham akan ajaran agama. Tapi, bagaimana ajaran agama itu mampu tercermin lewat perilaku sehari-hari, tampaknya perlu diimbangi dengan praktik agama. Karena itu, memberikan pendidikan agama lewat jalur non-formal tampaknya perlu ditingkatkan. Dengan demikian, anak-anak Hindu tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga betuk-betul bermoral sesuai dengan ''tuntutan'' ajaran agama. Lalu, lewat kegiatan model apa pendidikan agama nonformal itu efektif dilakukan?


============================================================
Praktisi pendidikan yang guru besar Unhi Prof. Dr. IB Yudha Triguna mengatakan, pendidikan agama Hindu tidak mesti selalu dilakukan melalui mekanisme formal. Pendidikan agama lewat jalur formal, umumnya lebih bersifat kognitif dan pembobotan hafalan.

''Bisa jadi cara seperti ini membuat generasi muda Hindu hanya pintar menghafal dan berdebat mengenai teori agama, tanpa mempraktikkannya, karena bagi mereka definisi agama adalah suatu ajaran yang harus diketahui dan dihafal,'' ujarnya.

Sikap formalistik seperti itu, tegas Direktur Pasca Sarjana Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi, sesungguhnya dapat menimbulkan kekakuan sosial dan sekat-sekat sosial, sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah umat manusia-- terutama mereka yang lebih mengutamakan hafalan ajaran ketimbang praktik atau perilaku beragama.

Oleh karena itu, model pendidikan formal harus diikuti atau diimbangi dengan praktik, karena perilaku beragama itu menuntut praktik atau disiplin yang betul-betul mencerminkan ajaran agama. Misalnya, umat sangat baik jika hafal tentang berbagai sloka mengenai ahimsa. Tetapi akan lebih bagus jika mereka tidak melontarkan kata-kata menghujat yang membuat orang lain tersinggung, sakit hati, apalagi sampai melakukan pembunuhan terhadap sesama.

Untuk sampai pada tindakan praksis seperti itu maka pendidikan agama Hindu mesti lebih banyak memberi ruang pada tindakan yang mempraktikkan langsung ajaran-ajaran agama. Praktik seperti itu dapat diwujudkan dalam tradisi nyastra, megeguritan atau magegitan. ''Tradisi nyastra itu diharapkan dapat penghalusan budi generasi muda Hindu,'' katanya. Dalam konteks pendidikan non-formal seperti ini, kata IB Yudha Triguna, anak-anak akan memperoleh ''bekal'' yang cukup tentang agama. Artinya, anak-anak tak hanya pintar menghafal tetapi langsung bisa menunjukkan nilai-nilai agama lewat sikap dan perilakunya sehari-hari.

Dalam memberikan pencerahan agama kepada umat, selain tradisi nyastra sangat efektif dilakukan lewat dharma wecana. ''Jadi sangat bagus diperbanyak kegiatan dharma wecana. Dengan cara seperti ini umat selalu diingatkan tetap pada rel atau kaidah agama,'' katanya.

Perlu lebih banyak pendharma wecana yang berfungsi untuk mengingatkan umat akan nilai-nilai atau ajaran agama. Hal ini hendaknya dilakukan secara terus-menerus, kendati memperoleh tantangan, terutama dari kelompok yang pragmatis dan rasional.

''Dharma wecana yang dilakukan oleh tokoh agama dan sulinggih cukup efektif untuk meningkatkan pemahaman umat terhadap ajaran agama, seperti apa yang dilakukan Ida Penanda Gunung. Karena itu, perlu ada Ida Pedanda Gunung-Ida Pedanda Gunung yang lain,'' ujarnya.

Kegiatan dharma wacana terbukti efektik memberi pencerahan kepada umat. Dengan membahasakan ajaran agama dengan baik dan tidak terlalu berat, justru akan mudah diterima oleh umat. ''Sepertinya membahasakan agama tidak perlu susah-susah. Cukup dengan bahasa yang mudah dimengerti,'' kata dia.

Selain dharma wecana, pendidikan agama juga efektif dilakukan melalui pengashraman. Terutama anak-anak sekolah, sangat baik diberikan tambahan pendidikan agama lewat pengashraman kilat setiap libur sekolah. ''Dalam kegiatan ini anak-anak selain diberikan tatwa agama juga praktik agama,'' katanya.

Berbagai bentuk pengasharaman telah banyak dilakukan selama ini seperti yang pernah dilakukan Yayasan Swadharma Indonesia di Pura Jagatnatha yang terkenal dengan pengashraman minggu. Tapi belakangan, kegiatan ini kurang terdengar. Padahal kegiatan itu cukup efektif membekali anak-anak tentang tatwa dan praktik membuat alat-alat upakara. Kakanwil Agama Propinsi Bali Gusti Made Ngurah mengatakan, pendidikan agama lewat jalur formal--karena keterbatasan waktu-- lebih banyak difokuskan pada teori agama. Padahal sesungguhnya ajaran agama itu tidak cukup hanya dihafal, tapi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Praktik agama sesungguhnya bisa didapat di lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan informal seperti kegiatan pengashraman. Namun, kegiatan itu mesti kontinyu, berkelanjutan dan permanen.

Dikatakannya, lingkungan keluarga sesungguhnya memiliki andil besar dalam memberikan praktik agama kepada anak-anak. Kesempatan menularkan praktik agama kepada anak-anak dirasa masih kurang. Karenanya perlu ditingkatkan, sehingga anak-anak sebagai generasi muda Hindu paham tatwa dan sekaligus mampu mengimplementasikannya. ''Orangtua mesti menyempatkan diri untuk ikut membantu anak-anak memberikan pendidikan agama di rumah,'' katanya.

Demikian pula lingkungan masyarakat juga melakukan hal yang sama. Jika selama ini banyak muncul kegiatan seni budaya di masyarakat, ke depan hendaknya diimbangi dengan kegiatan praktik agama. Bentuknya bisa berupa kursus-kursus atau pengashraman kilat. Ia mengatakan, jika di agama lain ada pondok-pondok pesantren, di Hindu mesti dibangkitkan kegiatan ashram-ashram.

Dikatakannya, akan sangat keliru ajaran agama itu hanya cukup dihafal, tanpa pengamalan. Tak hanya paham teori, juga perlu pengamalan atau praktik ajaran agama.

Justru dalam pengashraman kilat anak-anak mendapatkan lebih banyak praktik agama. Sementara di sekolah mereka lebih banyak mendapat teori agama. Agar ada keseimbangan antara keduanya, kegiatan praktik agama sudah tepat dikembangkan di desa-desa pekraman seperti yang dilakukan Yayasan Widya Wedhi Sabha di bawah asuhan Ketut Cekeg.

Pesraman kilat (enam bulan) dilakukan berpindah-pindah dari desa adat yang satu ke desa adat yang lain. Kegiatan yang berlangsung setiap hari Minggu itu bekerja sama dengan desa adat. Model ini dinilai cukup efektif untuk memberikan bekal agama kepada anak-anak Hindu, khususnya dalam hal praktik agama. Di sinilah perlu kesungguhan dan kerja sama semua komponen, sehingga kegiatan semacam ini dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Sistem pendidikan model peshraman, kata Gusti Ngurah, bisa dibuat secara terstruktur. Di situ ada misi dan visi, kurikulum, para instruktur dan sisya (murid). Untuk bisa beroperasi secara kontinyu tentu perlu dukungan semua pihak. Dikatakannya, orangtua hendaknya merangsang anak untuk tertarik belajar agama--khususnya praktik agama. Anak-anak mesti paham dan bisa mewariskan praktik agama, sehingga pada saatnya menjadi orangtua nanti, mereka tidak kelabakan. ''Mereka mesti dirangsang apa yang mesti mereka pelajari,'' ujarnya.

Soal dharma wecana, Gusti Made Ngurah mengatakan, kegiatan itu cukup efektif dalam memberi pencerahan kepada umat. Hal itu akan efektif manakala isi dharma wecana dirangkaikan dengan acara pokok. Misalnya dalam kegiatan odalan atau upacara ngenteg linggih, pendharma wecana tentu sangat tepat menguraikan makna upacara itu. Dengan demikian pencerahan itu akan cepat tercerna karena umat berkonsentrasi soal odalan atau ngenteg linggih yang dilaksanakan. Dharma wecana akan sangat menarik manakala diformat atau dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti dan diselingi dengan humor. (lun)


sumber: BaliPost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar