jam

Senin, 16 Maret 2009

Minim, sekolah untuk anak autis Posted in Press Prewiew | February 27th, 2009 BANDUNG, (PR).- Sangat sedikit sekolah re-guler formal yang dapat me-n

BANDUNG, (PR).-
Sangat sedikit sekolah re-guler formal yang dapat me-nerima kehadiran anak
autis. Apalagi jika sekolah dimaksud adalah sekolah favorit. Tidak akan
pernah ada anak autis yang bersekolah di se-kolah favorit. Kecuali ingin
tetap mempertahankan image, sekolah favorit takut dianggap turun
kualitasnya bila menerima anak autis.

Demikian Penanggung Ja-wab Sekolah Anak Berkebu-tuhan Khusus AGCA Center
Dr. dr. Y. Handojo, M.P.H. pada workshop sehari “Metode ABA bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah dengan sistem inklusi”, di Pusdai,
Jln. Diponegoro, Sabtu (3/3). Selain Handojo, hadir pula Kepala Sekolah
Inklusi Mutiara Bunda, Novita Ekawati, S.Psi.

Padahal kata Handojo, prevalensi autis di Indonesia meningkat setiap
tahun. Pe-ningkatan tersebut dapat mencapai 10 kali lipat. Pene-litian
tahun 1994 menyebutkan, penderita autis ma-sih satu berbanding 2.500,
tahun 2004 satu berbanding 250, tahun 2006 satu ber-banding 160, dan
penelitian terakhir tahun 2007 menyebutkan, 1 berbanding 96. Artinya,
setiap kelahiran 96 orang bayi, satu di antaranya menderita autis.

Sementara di sisi lain, kata dia, tidak banyak masyarakat yang
menyelenggarakan pu-sat pendidikan ataupun terapis untuk anak autis.
Perhatian pemerintah terhadap anak berkebutuhan khusus ini pun masih
minim. “Aki-batnya, sangat banyak penderita autis yang belum terlayani
pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak semua warga,” demikian Handojo.

Handojo menyebutkan, 35% penderita autis sebenarnya memiliki IQ normal ke
atas dan 65% di bawah normal. Bahkan, sejak dulu sebelum ada konsep
sekolah inklusi, masyarakat tanpa sadar sudah berdampingan bersama
anak-anak berkebutuhan khusus ini. Terbukti, laporan dari Jakarta
menyebutkan, dalam sebuah kelas terdapat 1 dari 25 orang anak mengalami
kelainan perilaku.

“Jadi sebenarnya, kita su-dah sejak lama hidup bersa-ma anak-anak seperti
ini. Hanya, dulu ditafsirkannya sebagai anak nakal. Padahal mungkin anak
tersebut termasuk anak hiperaktif yang sebenarnya memerlukan penanganan
tidak sekadar sebagai anak nakal,” pa-parnya.

Handojo berharap, pemerintah dapat lebih memerhatikan anak berkebutuhan
khusus. Apalagi, jika dilihat dari prevalensinya yang me-ningkat setiap
tahun. “Kalau tidak, apalagi sekolah-sekolah reguler tetap menolak,
kebutuhan pendidikan dan penanganan anak autis tidak akan terlayani,”
imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Se-kolah Inklusi Mutiara Bunda, Novita Ekawati
memapar-kan, memang tidak mudah menyelenggarakan pendidik-an untuk anak
berkebutuhan khusus seperti ini. Namun begitu, bukan berarti anak-anak
tersebut kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan.

Dari pengalaman Novi mengembangkan lembaga pendidikan seperti itu, ba-nyak
faktor yang mempersulit masyarakat dapat me-nyelenggarakan pendidikan yang
dibutuhkan. Sama halnya lembaga pendidikan lain, faktor guru, sarana,
ketersediaan SDM pendukung, maupun kurikulum, menjadi persoalan penting
yang dihadapi sebuah inklusi.

Pendek kata, kata dia, daripada susah-susah mencari jalan keluar dari
semua kesu-litan tersebut, biasanya sekolah menyatakan diri bahwa
lembaganya bukan sekolah inklusi. “Untuk gurunya saja, diperlukan guru
yang ekstra perhatian dan empati terha-dap anak. Kalau tidak, sudah pasti
tidak mau susah-su-sah,” ujarnya.

Prinsip dasar paling awal yang harus menjadi pijakan penyelenggara sekolah
inklu-si, kata dia, pemahaman bah-wa input siswa sangat bera-gam.
Nantinya, dengan pe-mahaman seperti itu, semua proses kegiatan belajar pun
lebih berorientasi pada pe-mahaman tersebut.

Contohnya dalam hal kuri-kulum. Kurikulum yang di-gunakan sebuah sekolah
in-klusi, kata Novi, tetap meng-acu dan menggunakan kuri-kulum nasional.
Namun ka-rena input siswa yang bera-gam, kurikulum nasional yang digunakan
mengalami modifikasi atau diadaptasi sesuai kebutuhan siswa. Setelah
mengalami identifikasi dan assessment bagi siswa yang mampu mengikuti
kompetensi yang ditargetkan kurikulum nasional, siswa tersebut menggunakan
program reguler (umum).

Sedangkan bagi siswa yang berkebutuhan khusus, prog-ram yang digunakan
dise-suaikan dengan kemampu-annya yaitu menggunakan program khusus maupun
program individu. “Maka-nya, dalam proses kegiatan belajar-mengajar
sekolah in-klusi, siswa bukan hanya di-dampingi guru tetapi juga seorang
guru pendamping (helper). “Contohnya di Mu-tiara Bunda, setiap kelas
me-miliki dua tenaga pengajar yaitu guru kelas dan guru asisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar